Oleh: Ihsan Fauzal Firdaus
Sekitar delapan dekade ke belakang kita menyaksikan perubahan
radikal antara realitas Islam dan politik. Patut disebutkan keberadaan
Pan-Islamisme sebagai pionir awal munculnya perhatian mendalam terhadap
realitas politik di masa itu. Dalam literatur ke-tafsir-an kita melihat
pergantian “musim” semenjak munculnya Tafsir al-Manar karya Rashid
Ridha, murid terbaik Abduh. Tidak bisa terelakkan pula implikasi praksis dari
perubahan paradigma tafsir ini. Di antara yang patut kita tilik adalah
munculnya Ikhwan al-Muslim (Muslim Brotherhood) pada tahun 1928. Hassan
al-Banna, seorang pelopor dan perumus awal bagi terjadinya Ikhwan al-Muslim,
sangat terpengaruhi oleh karya-karya Ridha ini.
Memperhatikan visi politik Persatuan Islam (selanjutnya disebut Persis)
berarti juga menilik perjuangan Persis dari latar historis Persis itu lahir.
Mengapa saya ungkapkan pertautan antara Islam dan politik di dunia Timur Tengah
(Mesir) untuk menarik jalur ke pertautan antara Persis dan politik? Karena
Persis lahir dari zaman yang sama dengan pembaruan di Mesir yang mulai ‘tren’
di paruh awal abad 20 sebagai reaksi terhadap kolonialisme yang merajalela di
dunia Islam.
Riset Deepa Kumar, pada bukunya Islam Politik, menyebutkan
beberapa faktor terjadinya perhatian Islam terhadap dunia politik. Bahkan
kemunculan gerakan Islam radikal dan revival pada waktu itu (maksudnya paruh
awal abad 20) sebagai serangkaian reaksi terhadap dominasi penguasa dalam
melakukan kediktatorannya. Namun ada yang unik dalam realitas tersebut. Seperti
yang diulas oleh Kumar dengan cukup jeli, terbentuknya Ikhwan al-Muslim pun
akhirnya akan melancarkan posisi kaum Barat (USA dan sekutunya) untuk menumpas
kaum-kaum yang tidak seideologi dengannya. Misalnya, kemunculan Gamal Abdul
Nasser sebagai presiden Mesir yang pernah menasbihkan diri sebagai Sosialis
Arab memang mengancam ideologi Liberal yang diagung-agungkan oleh Barat.
Sejalan dengan itu, kemunculan Ikhwan al-Muslim pun dijadikan alat bagi
Barat untuk menumbangkan Sosialisme Arab yang sejatinya kontra dengan ideologi
mereka.
Bagi Kumar, kemunculan slogan-slogan seperti ‘Kembali kepada
al-Quran dan as-Sunnah’ harus diartikan sebagai upaya dan reaksi Islam
besar-besaran terhadap realitas kolonialis ini. Namun, beberapa dekade
setelahnya, Barat menggunakan gerakan tersebut untuk menumbangkan musuh
ideologis mereka, yaitu sekularisme dan komunisme (atau sosialisme). Untuk
melihat itu, Ikhwan al-Muslim sengaja diberi founding oleh para
sekutu USA sebagai usaha untuk menumbangkan Nasserisme di Mesir, yang jelas-jelas
menancapkan bendera sosialisme. Atau kemunculan wahabisme sebagai sebuah ideologi
tidak bisa ditafsirkan begitu saja sebagai reaksi purifikasi nilai
keagamaan saja, namun harus ditarik dari konteks historis munculnya Islam
politik, yaitu semenjak campur tangannya USA terhadap ekonomi Arab Saudi
sebagai penghasil minyak besar. Kemunculan Liga Muslim Sedunia pada tahun 1962
pula sebagai awal dari dominasi Barat terhadap kondisi perekonomian di Arab
Saudi.
Lantas bagaimana di Persis sendiri? Bagaimana realitas di Dunia
Timur Tengah tersebut secara paradigmatis merupakan realitas yang sangat
terkait dengan kemunculan Persis sendiri. Kemunculan Persis sebagai sebuah
organisasi Islam juga harus ditafsir sebagai munculnya gerakan keagamaan yang
berbasis terhadap al-Quran dan sunah.
Sebagaimana diungkap di muka, adagium yang berbunyi ‘Kembali kepada
Quran dan sunah’ merupakan reaksi terhadap munculnya berbagai varian ideologi yang
bertaburan di paruh awal abad 20, namun juga sebagai reaksi terhadap kepungan
kolonialisme. Dengan adanya jargon itu, dimungkinkan Persis atau Muslim umumnya
bisa memegang teguh Quran dan sunah sebagai kitab ideologis mereka.
Tidak lupa, ada semangat purifikasi agama yang dilaukan oleh
Persis sebagai usaha titik tolak untuk melakukan perombakan total dalam
melakukan ibadah.
Namun kalau berbicara politik secara an sich, Persis seakan
diam seribu bahasa. Memang tidak bisa dipungkiri, kebangkitan gerakan dan
organisasi Islam di Timur Tengah harus juga ditafsir dengan penetrasi ekonomi
Barat dan akselerasi gerakan tersebut di kancah perpolitikan. Namun bagi Persis
itu akan lain ceritanya. Semangat Timur Tengah yang bergema lewat reformasi
aqidah versi Abduh atau gerakan keagamaan ala al-Banna menggema di tubuh
Persis, tetapi posisinya berbeda. Makanya, realitas ekonomi-politik di dunia
Timur Tengah itu tidak berlaku, atau setidaknya berbeda dengan realitas di
Indonesia, atau daerah munculnya Persis itu.
Tidak pernah ada satu riset pun yang membuktikan adanya pertautan
antara Persis dan pemodal asing untuk menggunakan Persis sebagai alat politik
penumbang ideologi komunis misalnya. Berbeda dengan gerakan atau ormas Islam
yang lain, JIL misalnya. Dalam salah satu kesempatan, Majalah Risalah pernah
mencantumkan riset tentang organisasi Islam yang didanai oleh pemodal asing
semacam Asia Fondation, yang jelas-jelas menancapkan bendera ekonomi
neo-liberal di tanah kita. Makanya, kemunculan Islam Liberal pun tidak lepas
dari kepentingan asing dalam melakukan penetrasi ekonominya dan melakukan
pembersihan gaya ekonomi sosialis dan Islam misalnya.
Di lain pihak, kita juga tidak bisa melihat pertautan langsung
antara Persis dan politik riil dalam konteks ke-Indonesia-an. Misalnya kita
melihat tokoh kondang Persis, M. Natsir yang masuk dunia politik sebagai
representasi dari alpanya Persis di dunia politik nasional atau internasional.
Itu karena, M. Natsir, setelah masuk dunia politik, dia menanggalkan status
ke-Persis-annya. Hal tersebut dimungkinkan karena Persis tidak mengandaikan langsung
adanya anggota yang aktif di parpol atau kondisi politik apapun.
Perlunya Manifesto Persis Sebagai Sains Politik
Dalam salah satu artikelnya (status facebook), Yoga ZaraAndrita
mengulas tentang pentingnya visi politik yang realistik bagi Persis. Dalam
taraf tertentu saya setuju, namun pada yang lain, saya mengusulkan bagi adanya
reideologisasi bagi doktrin-doktrin Persis sendiri karena bagi saya letak
problematisnya bukan masalah realistik atau tidaknya, tetapi ada pada kejelasan
atau tidaknya ide dasar dari politik Persis.
Apabila kita membaca secara perlahan QA&QD Persis, secara
implisit kita akan menemukan beberapa doktrin yang memang “mengganggu” bagi
lancarnya Persis di dunia politik. Misalnya, dengan mengutip hadits tentang kepemimpinan,
Persis berhasil memberikan citra bahwa kepatuhan terhadap pemimpin merupakan
kewajiban yang tidak bisa ditolak. Namun, implikasi praktis-politik dari
penerimaan hadits tersebut secara mentah-mentah akan mengakibatkan tiadanya
dialektika atau konfrontasi untuk menghasilkan ide yang lebih baru. Artinya,
pilihan politik ditentukan oleh tetua dari Persis sendiri, tidak mengandaikan
adanya aspirasi lanjutan ketika munculnya keputusan tersebut. Atau saya
bahasakan dengan agak sangar, alpanya peran aktif kader Persis dalam
pergumulannya dengan real politics.
Dalam salah satu statemennya, Yoga berusaha mengafirmasi Persis
politik yang eksplisit dalam pemikiran Isa Anshari. Dengan begitu Persis tidak
lagi dilihat sebelah mata atau hanya dijadikan lumbung suara bagi oknum-oknum
tertentu untuk mengamankan suara politik atas nama patuh terhadap pemimpin
baik lewat Cabang, Daerah, Wilayah ataupun Pusat.
Hemat saya, percaturan Persis di dunia politik bukan hanya direvisi
pandangan politiknya, tetapi kita juga harus melakukan reorientasi dalam menafsir
ulang QA&QD sebagai pegangan bagi kader sendiri. Namun itu akan menjadi
angan belaka kalau tidak dibarengi dengan pendidikan teoretik yang kokoh.
Saya mengira, bahwa absennya Persis di dunia Politik, selain ada
larangan untuk ikut Parpol, tapi juga tiadanya traktat politk yang ketat dan manifesto
perjuangan yang memadai sebagai panduan gerakan. Kita seakan kabur (Sunda:
samar polah) kalau berbicara tentang politik sebab pegangan politik kita
tersendat pada dua aras yang saling membetoti; Persis dan parpol sendiri. Yang
tentunya parpol di kita merupakan organisasi borjuistik yang memenuhi
kepentingan para tetuanya saja sedangkan abai terhadap ummat. Bagi saya,
traktat politik Persis bukan hanya membicarakan shahih atau tidaknya hadits
ketatanegaraan, atau bagaimana memenangkan hati rakyat untuk mendukung visi
politik Persis seperti kebanyakan terjadi di parpol (bahkan parpol yang mengaku
Islam semacam PKS, PPP, PKB, dll), namun lebih dari itu bisa menuai hasil dari
analisanya yang jeli terhadap realitas objektif politik itu sendiri.
Hal tersebut bukan berarti Persis harus merapat dengan parpol Islam
semacam PKS, PPP, PKB, atau yang lainnya, karena bagi saya, parpol yang ada
tidak menunjukkan visi yang jelas tentang politiknya. Bahkan tidak ada traktat
khusus dan mendalam sebagai landasan perjuangan. Seperti PKS misalnya pernah
dituding sebagai organisasi Islam borjuistik, yang tujuannya hanya kekuasaan
semata. Semata!
Sebagai gambaran, revolusi Oktober 1917 dan percaturan politik
Partai Komunis Rusia tidak akan tejadi secara laten kalau tidak dibarengi
dengan sains tentang perubahan radikal itu. Dalam What Is To Be Done, Lenin menulis apa yang
akrab di lidah para pejuang kiri, “Tidak akan ada praktik revolusioner
melainkan dengan teori revolusioner.”
Kalau kita memparafrasekannya lagi dengan bahasa kita, Persis tidak
akan mendapatkan praksis politik yang baik melainkan dengan teori politik yang
jelas dan akurat. Tentu itu didapat dari pergumulan antara realitas politik dan
teori yang didapat dari traktat itu.
Persis akan selamanya absen dengan politik riil kalau masih
mengadopsi semangat Timur Tengah, namun absen terhadap gerakan politiknya. Kita
akan menerima ontologi ala Alain Badiou yang menyatakan perlunya
melakukan pergumulan politik riil bukan hanya sebagai pengamat yang menasbihkan
diri netral dari politik riil namun abai terhadap apa yang bersebrangan dengan
visinya. Artinya pola keberagamaan pun akan dilaksanakan dengan baik ketika
politiknya sejalan dengan visi yang diangkat. Misalnya kita selamannya akan
terus membiarkan miras legal, kalau tidak diusahakan lewat jalur politik,
kekuasaan.
Implikasi dari penerimaan politik di tubuh Persis berarti membuat
traktat atau sains politik yang jelas tentangnya. Dipadatkan: dengan satu
tarikan nafas, Persis dan visi politik yang jelas dilafal secara berbarengan.
Posted by 09.26 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar