Komitmen Mahasiswa Terhadap Politik

Komitmen Mahasiswa Terhadap Politik


Menarik memperhatikan isu korupsi yang mengemuka beberapa hari ke belakang. Seperti yang pernah dimuat dalam beberapa media, baik cetak ataupun digital, bahwa kasus korupsi semakin “merakyat” belakangan ini. Dimulai dari dugaan korupsi atas Menpora, sampai yang menggemparkan tiga minggu ke belakang, yaitu kasus pengadaan Alquran.
Korupsi yang semakin menjamur belakangan ini tidak bisa dilepaskan dengan pendidikan yang ada di negri kita. Mahasiswa, sebagai agen of change and social control merupakan pilar bagi terjadinya perubahan sosial dimana mereka berada. Dalam ruang lingkup kampus, kita bisa menemukan pelbagai miniatur negara yang dihimpun berdasarkan aturan-aturan yang berlaku di tiap kampus masing-masing.
Dalam memahami kasus korupsi ini, mahasiswa merupakan daya penggerak yang mampu merubah wajah sosial di lingkungannya. Namun, hal tersebut akan semakin jauh dari harapan kita manakala pola pendidikan dan gerakan di setiap kampus dilakukan atas sokongan dan afiliasinya dengan perpolitikan negri ini.
Perpolitikan di negri ini, tidak bisa dilepaskan sama sekali dari bagaimana sistem perpolitikan di kampus dimainkan. Dalam lingkup kampus, kita akan menemukan pelbagai kejadian yang hampir sama dengan perpolitikan di negri ini. Sebaliknya, perpolitikan di negri ni merupakan kepanjangan dari bagaimana wajah politik kampus dimainkan.
Dalam lingkup miniatur negara yang ada di wilayah kampus ini, kita disuguhkan dengan pelbagai peristiwa yang menyeret bermacam rupa sifat perpolitikan yang ada; misalnya, bagaimana membangun relasi, koneksi, dan menghimpun konspirasi. Sudah sejak lama kita mengetahui bahwa the real politics itu identik dengan keburukan. Yang sah dari politik itu adalah penghalalan segala cara.
Hal tersebut lah yang sejatinya harus disingkirkan dari mahasiswa. Kearoganan dalam melakukan sistem perpolitikan di kampus tidak heran akan terbawa ke luar kampus. Relasi uang dan konspirasi adalah salah satu wajah lumrah perpolitikan di negri kita. Hal tersebut lah yang perlu diinsafi oleh cara pandang mahasiswa.
Masih terngiang di telinga kita peristiwa Mei ’98 sebagai cikal bakal terjadinya reformasi. Beberapa kelompok dan aliansi mahasiswa berkumpul untuk melanksanakan jihad-nya merobohkan pemerintahan yang dirasa otoriter waktu itu, yaitu Orde Baru. Pada waktu itu mahasiswa menjadi pilar bagi terjadinya perubahan di negri kita.
Bahkan kita bisa menemukan pelbagai kejadian yang ada di negri lain, misalnya revolusi mahasiswa ‘68 di Perancis. Mahasiswa merupakan sekumpulan sosok yang disegani atas prinsipnya yang kritis.
Namun, seiring berjalannya waktu, adagium mahasiswa yang berbunyi agen of change and social control merupakan mitos yang didengung-dengungkan tanpa aplikasi praktis yang nyata. Dengan semakin carut-marutnya sistem perpolitikan di negri kita, seyogyanya mahasiswa memberikan kontribusi dengan melakukan perbaikan di wilayah politik kampus.
Kampus adalah miniatur negara. Sistem perpolitikan yang berada di level pemerintahan pun sejatinya berasal dari kampus sendiri. Mahasiswa harus berperan aktif melakukan perombakan total sistem perpolitikan di kampus sendiri. Kesadaran untuk jujur merupakan fondasi dasar yang harus ditekankan dalam melakukan perbaikan politik di kampus, agar bisa melanjutkan ke ranah luar kampus.
Pendidikan politik di kampus akan menentukan bagaimana politik di luar kampus nanti. Figur-figur politik yang ada sekarang pun merupakan aktivis kampus yang didompleng dengan struktur politik yang ada di level kampus dahulu.
Walaupun ada yang berkilah bahwa adagium mahasiswa yang berbunyi agen of change and social control” tersebut merupakan jelmaan borjuasi baru yang bertransformasi di tingkat borjuis kecil (petit-bourgeois), namun hal tersebut perlu diabaikan di kala krisis pedoman di kancah perpolitikan di kita seperti saat ini.
Sebagai mahasiswa kita harus lekas sadar bahwa politik itu tidak identik dengan uang, konspirasi, kebohongan dan menghalalkan segala cara. Dengan begitu pun kita bisa memperbaiki wajah kampus sendiri dan mengantisipasi politisi-politisi “buruk” ke depan. Dengan perbaikan wajah politik di kampus pun kita akan berperan dalam melakukan revitalisasi figur-figur politik ke depan supaya tidak “jelalatan” terhadap uang.
Penulis, mahasiswa Tafsir dan Hadits UIN SGD Bandung. Bergiat di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK).



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 09.43 and have 2 komentar

2 komentar:

  1. Berbicara tentang politik kampus. Seperti sudah pernah saya kemukakan, agar wajah politik kampus kita berubah ke arah yang lebih baik, agaknya kita mesti keluar dari moif-motif dikeumuman parpol mahasiswa yang ada.

    Sementara parpol mahasiswa yang ada dilandasi motivasi merebut kendali struktur kekuasaan kampus dan relasi ke kelas birokrat atas, maka semestinya kita tidak (untuk sementara waktu). Dan tetap konsisten menjadi oposan buat mereka. Dengan cara mendeklarasikan Komunitas Anti Organ Ekstra Kampus (anti ormawa kampus yang fokus saling berebut kendali struktur kampus di tingkat mahasiswa).

    Baru ketika kita sudah cukup kuat menjadi gerakan yang mengakar ditingkat mahasiswa, hendaknyalah masuk ke arena perebutan kekuasaan secara resmi. Seperti langkah yang dulu pernah dilakukan PKI. Mula-mula ia mengorganisir kaum buruh, tani, dll. Setelah cukup kuat basis mereka di desa-desa dan kota, baru mereka menceburkan dirinya ke arena pertarungan perebutan kekuasaan di level pemerintahan.

    BalasHapus
  2. Pertama, yang sulit, memang, mengorganisir pada level gerakannya. Kedua, buramnya jalan ke arah sana sebab sulitnya merubah pola pikir mahasiswa untuk tidak "jelalatan" terhadap uang. Kalau misalkan terjerumus pada politik uang, maka organisasi mahasiswa tidak lebih dari kekuatan oraganisasi burjuis.

    BalasHapus