Seri Pendidikan

Seri Pendidikan


Postmodernisme dan Pendidikan
(Telaah Sederhana terhadap Proses Pembelajaran di UIN SGD Bandung)
Oleh: Fauzal Ihsan*

Beberapa dekade ke belakang tokoh-tokoh intelektual Indonesia disibukan oleh satu paham yang menjamur. Dikatakan menjamur, sebab tidak pernah ada paham yang begitu banyak diperbincangkan sedemikian dahsyatnya. Serta, acap kali dijadikan bahan seminar. Paham tersebut adalah postmodernisme: suatu kecenderungan berbalik arah dengan modernisme. Seperti telaah yang dilakukan oleh Radhar Panca Dahana pada bukunya, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (Yogyakarta: Bentang, 2004),bahwa kalimat ‘postmodernisme’ adalah term yang paling banyak disebut semenjak era 90-an. Menurut sarjana jebolan Perancis ini, postmodernisme disambut dengan hangat
oleh tokoh intelektual Indonesia dengan berbagai kecenderungan: ada yang afirmatif; ada yang apatis; pun ada pula yang menolak.

Paham tersebut seakan merangsek masuk di tataran bumi pertiwi ini dengan begitu rupa. Salah satu keunggulan postmodernisme adalah memberi ruang bagi penafsiran yang lebih luas baginya. Postmodernisme sebagai satu paham pun terlalu rancu untuk disebutkan, karena paham selalu mengandaikan keutuhan dan stabilitas. Sedangkan pada postmodernisme, tidak ada yang utuh dalam kaitannya dengan pijakan epistemologis. Postmodernisme selalu tak kunjung selesai dengan beberapa paragraf definitif. Ia adalah term yang sulit dicari definisinya. Yang jelas, postmodernisme merespon dan mengambil alih kejumawaan yang dibawa oleh modernisme.

Seperti yang diungkapkan di atas, postmodernisme bukan kalimat yang bisa dicarikan definisinya dengan utuh dan menyeluruh; tapi membawa berbagai implikasi ke setiap ranah dan aspek kehidupan. Diantara implikasi postmodernisme di tataran kita adalah penghargaan terhadap kaum subordinat, pergumulannya dengan kaum tiranik. Khususnya di belahan dunia ketiga, postmodernisme adalah sebentuk paham perlawanan terhadap kebudayaan dominatif. Di Indonesia postmodernisme ditafsirkan sebagai bentuk penyetaraan kedudukan dengan penguasa: baik berupa pemerintahan tiranik atau institusi yang membelenggu. Kita paham bahwa tafsiran postmodernisme menjadi demikian karena keterkaitan dengan penguasa hegemonik era tersebut, yaitu Orde Baru.

Ada hal unik yang diperlihatkan oleh postmodernisme dalam kaitannnya dengan proses pembelajaran di kampus kita: UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Proses pembelajaran di UIN SGD Bandung selalu berlangsung dengan khidmat di kelas, pada jurusannya masing-masing. Berawal dari kekhidmatan itulah, proses pembelajaran di kampus kita menyisakan tanda tanya yang besar. Sesuaikah proses pembelajaran di UIN SGD Bandung dengan iklim postmodern yang didengungkan tokoh intelektual Indonesia dewasa ini?

Seperti yang diutarakan di muka, bahwa di sebagian tempat, khususnya di Indonesia, postmodernisme diartikan sebagai pengangkatan status dari keterjajahan menjadi kesetaraan. Dampak dari tafsiran postmodern tersebut menganulir adanya status kemerdekaan bagi domein non-penguasa. Mengakui adanya yang liyan, selain penguasa.

Pembicaraan kita kali ini berawal dari sosok yang senantiasa dikuduskan oleh mahasiswa, tapi sejatinya, di beberapa orang masih terjangkiti oleh virus “penjajahan” intelektual: dosen. Postmodernisme memberi angin segar bagi iklim pembelajaran di kampus kita, karena otoritas keilmuan bukan hanya dipegang oleh para dosen. Mahasiswa harus ingat, bahwa dosen bukan dewa yang analog dengan pengetahuan. Sudah saatnya mahasiswa menghilangkan asumsi baik tentang dosen. Dalam artian, dosen ditempatkan di posisi yang paling sentral sewaktu proses pembelajaran.

Di sinilah titik temu postmodernisme dengan pembelajaran di kampus kita: sebagai pertemuan dialektik keilmuan antara dosen dan mahasiswa. Pergumulan dialektik itulah yang seharusnya dilakukan dalam pembelajaran di kampus kita ini. Suatu lanskap desentralisasi nilai-nilai pengagungan dosen. Mahasiswa sudah harus menginsafi bahwa peran penting dalam proses pembelajaran adalah sumbangsihnya dalam masalah keilmuan. Dosen pula bukan peneliti ulung yang bisa melihat berbagai persoalan dengan sedemikian komprehensif.

Proses pembelajaran di kampus kita seyogianya menjadi ranah  yang akut dengan perseturuan intelektual; baik mahasiswa dengan mahasiswa; atau dosen dengan mahasiswa. Yaitu, sebuah usaha perbaikan terhadap kontes keilmuan yang berlangsung di kelas masing-masing. Kalau memang betul dosen lebih membaca banyak literatur dari pada mahasiswa, maka ketika melihat persoalan yang faktual misalnya, bisa saja akan berbeda. Dan disitulah peran mahasiswa, memberi saran dan kritik terhadap dosen dalam kaitannya dengan model pembacaan. Pembacaan terhadap kasus tertentu selalu memberi peluang bagi penafsiran yang lebih segar dan anyar.

Literatur (buku) pada pembacaan kasus hanya ditempatkan sebagai hal sekunder, yang primer adalah kasus itu sendiri. Kasus dan objek kajian menjadi masalah yang terlalu disederhanakan apabila hanya dosenlah yang paling berwenang menerjemahkannya pada masalah pembelajaran. Kita harus merumuskan kembali peran dan tugas seorang dosen supaya tidak terjadi “penjajahan” intelektual terhadap mahasiswa. Ditekuknya materi perkuliahan terhadap mahasiswa bukan berarti harus mengamini dengan legowo. Suatu keadaan dimana terjadi kepasrahan meditatif terhadap materi kuliah: Gelassenheit.

Pada titik ini pun mahasiswa harus berperan aktif mengoptimalkan pendidikan di kelas masing-masing, termasuk memacu kualitas intelektual dengan bacaan literatur—yang berusaha—menyeimbangi dosen. Pun, mahasiswa harus lekas menginsafi bahwa belajar bukan hanya mengisi absen, mengejar nilai tinggi dan mendengarkan penjelasan dosen. Mahasiswa pun harus sadar bahwa kualitas intelektual mereka sangat rendah, terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang tidak pernah dipacu optimal dengan membaca literatur.

Kalau terjadi keseimbangan otoritas keilmuan antara dosen dan mahasiswa, maka tidak akan ada yang terasing dalam proses pembelajaran di kampus kita ini. Semenjak dari dulu, Marx (walaupun bukan tokoh postmodern) menyitir bahwa kritik harus menghilangkan daya alienatif: pengasingan pendidikan dalam pembicaraan kita kali ini. Mungkin, disanalah letak persinggungan antara posmodernisme dan Marxisme; walupun di beberapa tempat menyuguhkan pergesekan amat hebat. Postmodernisme—walau tidak identik sama sekali dengan kritik—menghembuskan angin segar dengan memberi tempat bagi golongan yang terhegemoni; sang liyan; juga, setiap pendudukan. Barangkali, inilah yang sering diungkap oleh tokoh pendidikan: “pendidikan itu bukan pendudukan!” Semoga.


*Mahasiswa Tafsir dan Hadits. Bergiat di UKM LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman)



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 12.38 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar