Membaca Mitos dalam Kode-kode Kebudayaan[1]

Membaca Mitos dalam Kode-kode Kebudayaan[1]


Oleh: Fauzal Ihsan[2]

            Membaca mitos dalam suatu kebudayaan tertentu berarti membaca perikehidupan esensial yang dianut sebuah masyarakat. Mitos menjadi unik dan menarik ketika dipandang dari sisi norma dan cerita-cerita yang diungkapkan nenek moyang dulu. Salah satu yang menguraikan dunia mitis dan implikasinya ini adalah Prof. Dr. C. Van Peursen. Menurut Van Peursen, mitos adalah sebuah cerita yang memberikan arahan dan pedoman tertentu kepada suatu masyarakat.[3] Alam dunia mitis ini selalu terkait dengan masyarakat primitif,[4] karena pola berfikir yang  mengaitkan seluruh kejadian ala semesta —termasuk manusia—dengan yang transenden. Orang primitif selalu memaknai apapun dengan cerita nenek moyang mereka.
            Menurut Van Peursen, ada dua kecenderungan untuk menyikapi kebudayaan primitif dan dunia mitos ini. Pertama, romantik, yaitu pandangan yang menganggap baik kebudayaan primitif. Kaum romantis berpendapat bahwa kebudayaan primitif adalah kebudayaan agung, yang belum tersentuh ekses-ekses negatif seperti tekhnologi, pembangunan dan hasrat akan kuasa perpolitikan. Bagi kaum romantis, mendambakan kebudayaan primitif, alam mitis memberikan jaminan moral bagi siapa saja yang memegang teguh, sehingga manusia dapat akur dengan alamnya. Mereka mengkritik orang-orang rasionalis yang terlalu bebas mengeksploitasi alamnya atas dasar penyempurnaan rasio.[5]
            Kedua, rasional, yaitu pandangan yang menilai buruk terhadap kebudayaan primitif. Kaum rasionalis menganggap kebudayaan primitif itu dengan sebutan kekanak-kanakkan dan merupakan suatu penyakit dalam bahasa. Bahkan, seorang antropolog Perancis, Lévi-Bruhl berpendapat bahwa kebudayaan primitif adalah mentalitas primitive dan pra logis. Di kemudian hari, Lévi-Bruhl menarik ucapan itu, karena kebudayaan primitif dan alam mitis itu unik. Kita bahkan bias menemukan garis yang sama antara kebudayaan primitif dan modern.[6]

Fungsi Mitos
            Van Peursen menjelaskan bahwa fungsi mitos ada tiga. Pertama, mitos memberikan penyadaran terhadap manusia, bahwa ada kekuatan adiluhung di atas manusia. Manusia menjadi melebur dengan alamnya, dalam arti bertalian eksistensi dengan alamnya. Manusia pada taraf ini belum menyadari eksistensi dirinya, karena selalu dikaitkan dengan kekuatan mitos yang membentuk mereka. Berbeda dengan orang modern, yang memberi jarak —tidak melebur— dengan alamnya, karena merasa merekalah sebagai pusat ada, serta merekalah yang menentukan segalanya dengan standardisasi rasio (self determination).
            Kedua, fungsi mitos berkaitan dengan fungsi yang pertama, yaitu memberi jaminan teradap masa kini. Mitos yang dideskripsikan tentang kejadian seuatu itu diambil maknanya kemudian dijadikan landasan bagi masa kini.
            Ketiga, fungsi mitos adalah memberi pengetahuan tentang dunia. Kejadian alam semesta dan pembentukkannya tak bisa dilepaskan dari kekuatan adi kuasa yang transenden. Cerita dalam penciptaan itu dinamakan “kosmogoni”, sedangkan cerita mengenai dewa-dewa dan Tuhan pencipta dinamakan dengan “theogoni.” Semua yang disimbolkan di dunia ini, menurut M. Eliade adalah tertuju terhadap yang transenden.[7]

Manusia dan Dunia
            Pada kebudayaan primitif, orang sangat mempercayai sekali alam mitis, karena dengannya, manusia bisa menjamin seluruh kehidupannya. Menurut Van Peursen, kecenderungan orang-orang ini, yaitu penjagaan terhadap alam, karena kebanyakan mitos memelihara hubungan antara manusia dan alam. Van peursen menyebut hal ini dengan sebutan “dunia sosio-mitis” yaitu suatu bentuk masyarakat yang belum mengambil jarak pada objeknya. Manusia dan objeknya (baca: alam) masih dianggap satu.[8]
            Kebudayaan primitif  berbeda dengan kebudayaan modern, yang mulai mengambil jarak dari objeknya. Modernitas ini merupakan dampak dari filsafat pencerahan yang diprakarsai oleh Descartes. Apabila ditelusuri secara mendalam, cogito tertutup Descartes merupakan kesadaran penuh manusia dengan alamnya, dan merupakan penitik pusatan pada rasio. Dampaknya, objek (alam) menjadi bagaimana manusia berfikir. Alam dirusak, dieksploitasi dan dihancurkan demi terciptanya kebudayaan modern yang tinggi.[9]
            Menurut Helmi Y. Haska, kebudayaan tradisional menjamin upaya pelestarian terhadap alam, karena hal itu diusahalan oleh mitos. Pemahaman modernitas yang menghancur-leburkan alam mitis pada pemahaman manusia selalu saja disalah tafsir dan dipelintirkan oleh manusia untuk kesenangan dirinya, yang berimplikasi pada perusakan alam.[10]

Analisis Mitos sebagai Kode
            Untuk selanjutnya, saya akan memaparkan nilai intrinsik mitos pada kode-kode kebudayaan tertentu. Mitos—tidak seperti yang kita bayangkan—menjadi sangat urgen bila kita telisik sebagai kode kebudayaan. Bahkan Ali Syariati dengan sengaja mengaitkan kode kebudayaan dengan mitos yang dibangun pada tempat tertentu. Menurut Ali Syariati, kebudayaan seseorang dapat diterangkan berdasarkan mitos yang dibangunnya. Sebagai contoh, Ali Syariati menggambarkan kebudayaan material dan atheisnya orang-orang Barat. Menurutnya, orang-orang Barat berprilaku materialis dan atheis karena dibangun dari semangat Promethean. Secara sederhana, mitos menggambarkan sisi peilaku manusia pada suatu tempat tertentu. Prometheus adalah salah satu dewa yang menentang raja Para Dewa (Zeus), karena mencuri api kehidupan dari Zeus. Maka, manusia sengaja menentang langit (baca: Tuhan) karena dibangun dari mitos Prometheus ini. Bahkan Marx secara terangterangn mengimani Prometheus, dan menyatakan bahwa Tuhan tidak ada. Ternyata, pada kebudayaan modern pun, alih-alih membuang mitos, ternyata masih saja mengimani mitos.[11]Bahkan secara terang-terangan Friedrich Nitzsche mengimani mitos. Dengan dalih membunuh semua tuhan yang selalu didogmatisasi, tetapi Nietzsche pun akhirnya mengimani mitos, yang berdampak pada pembentukkan prilakunya.[12]
            Rolland Barthes secara gamblang menerangkan pertandaan konotatif, yaitu system pertandaan yang menerangkan penafsiran metaforis terhadap text.[13] Menurutnya, mitos memberi jaminan pedoman tertentu dan sangat intrinsik terhadap seseorang. Seseorang memandang objek dengan mitos yang telah dianutnya, walaupun secara tak langsung.[14] Barthes menyatakan bahwa teks yang scriptable atau kode-kode kebudayaan harus ditafsirkan lewat pertandaan konotatif, yang dibentuk oleh mitos, atau ideologi. Mitos menurut Barthes adalah pengantar terhadap signifikasi ke-2 setelah pembacaan denotatif terhadap text.






[1] Digelar pada diskusi regular LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) -31-10-2011-

[2] Pelajar semester V yang dituding Mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadits.

[3] Prof. Dr. C. Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (hal. 37)

[4] Menurut Van Peursen pemakaian istilah “orang primitif” kepada mereka yang masyarakat yang mempercayai mitos itu kurang tepat, karena semua hal itu dianggap baru dan masuk akal pada zamannya. Lihat Van Peursen, Ibid (hal.34)

[5] Prof. Dr. C. Van Peursen, Ibid (hal.35)

[6] Prof. Dr. C. Van Peursen, Ibid (hal.36)

[7] Prof. Dr. C. Van Peursen, Ibid (hal.37-42)

[8] Prof. Dr. C. Van Peursen, Ibid (hal.45)

[9] Helmi Y. Haska, BOB MARLEY; Rasta, Reggae, Revolusi (hal.96)

[10] Helmi Y. Haska, BOB MARLEY; Rasta, Reggae, Revolusi (hal.97)

[11] Ekky Malaky, ALI SYARIATI; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (75-82)

[12] Secara terang-terangan Nietzsche mengimani mitos, lihat Lahirnya tragedy,terjemahan dari The Birth of Tragedi (Bentang: Jogjakarta)

[13] Text yang dimengerti disini adalah seluruh objek yang dihadirkan pada manusia.

[14] Dadan Rusmana, Madzhab dan Pemikiran Semiotika Kontemporer. (hal.119)



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 12.33 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar