(Goresan Sederhana kepada PPI 34)
Kenangan selalu saja menerkam di kala pikiran dipusingkan dengan sejumlah perkara menumpuk yang dihadapi waktu sekarang. Tulisan saya ini akan sedikit mengulas mengenai ‘kenangan’ yang cukup membisu sekian lama, namun selalu nongol di kala tumbuh perasaan reflektif. Yang ingin saya bicarakan kali ini adalah pengalaman eksistensial (existencial experience) atau juga bisa disebut pengalaman mistik (mistycal experience), dimana menempatkan posisi diri berhadapan dengan relitas yang lampau; kehidupan yang rupanya memberi jejak bagi perjalanan waktu sekarang ini: pesantren Cibegol.
Membicarakan pengalaman di pesantren dulu berarti menarik garis eksistensial ke ranah waktu. Walaupun sejatinya kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi renungan selalu bisa membuat itu—seakan menjadi—nyata. Sudah kita pahami, bahwa di dunia kepesantrenan manapun akan didapati peran yang selalu mengisi kelas. Saya mengatakan kelas dengan mengikuti pembagian ala Marxian, yang dengan itu kita bisa melihat perbedaan posisi dan status. Di pesantren kita bisa menemukan tiga kelas yang selalu saja menempel: kelas kiyai, kelas asatidz, juga kelas santri. Dan berawal dari pembagian kelas itulah kita bisa mencitrakan berbagai asumsi mengenai status yang dipegang oleh masing-masing kelas.
Salah satu yang unik, yang akan kita perbincangkan kali ini adalah sejumlah aturan kepesantrenan yang—saya—rasa berbeda dengan pesantren lainnya. Di pesantren Cibegol kita bisa menemukan pengalaman eksistensial yang berdiri di tengah hiruk-pikuk relitas sosial yang ada di luarnya. Seperti yang telah kita mafhumi, bahwa pesantren memberi warna berbeda dengan sekolah umum lainnya. Seharusnya, di pesantren dipelajari ilmu yang holistik: integral pada wilayah umum dan agama. Yang harus dihilangkan pada masyarakat adalah asumsi adanya ‘keterpisahan’ antara ilmu bumi (umum) dan ilmu langit (agama). Dan kita bisa melihat dikotomi ini pada seorang konservatis jaman dulu, misalnya seseorang akan dikatakan berilmu apabila bisa memilih jalur dan menekuni satu diantara dua: ilmu umum dan agama. Dan saya rasa asumsi itulah yang harus dihapuskan. Sejalan dengan paparan saya di muka, bahwa pesantren Persis telah sejak dari sulu mendobrak asumsi ini. Pesentren Persis, semenjak kemunculannya pertama kali oleh KH. E. Abdurrahman telah melampaui system kepesantrenan dan sekolah umum waktu dulu. System kepesantrenan yang selalu diwakili oleh pesantren salafi yang hanya mengkaji kitab kuning; system sekolah umum yang diwakili oleh sekolah-sekolah Belanda, yang mengkaji ilmu umum saja, dari sanalah berangkat dan berawalnya pesantren Persis: menggabungkan ilmu umum dan agama supaya holistik dan integral. Kita bisa membayangkan, bagaimana kalau ummat Islam hanya memperdalam ilmu agama saja; dimana yang mau jadi dokter? Ekonom? Sosiolog? misalnya; sebagai perumus kesejahteraan ummat. Atau, bagaimana seseorang hanya memperdalam ilmu umum saja, tanpa mengendus ilmu agama; meninggalkan moral Qur’ani. Dan pada titik itulah, pesantren Persis menawarkan pembelajaran yang menggabungkan dua mainstream tersebut, tanpa melakukan dikotomisasi.
Misalnya, di pesantren Persis, tidak mengenal kata asing bagi salah satu dasar kukuh bagi akal: logika. Logika Aristotelian sudah diperkenalkan oleh pesantren Persis semenjak dari Muallmien, walaupun dengan istilah lain, yaitu manthiq; yang kita tidak temukan di pesantren salaf sebelumnya. Di pesantren salaf, pelajaran manthiq akan diberikan setelah mancapai maqam tertentu; padahal ilmu tersebut harus diajarkan semenjak semula, supaya santri bisa mengerti betul proposisi-proposisi redaksi Nabi (hadits) dengan benar. Apalagi di sekolah umum, kita tidak akan bisa menemukan ulum al-hadits dan ulum al-quran,misalnya. Dan bagi saya, itulah titik dimana pesantren Persis berperan.
Lantas apa yang disuguhkan di pesantren Persis 34 Cibegol? Di pesantren Persis 34 Cibegol, kita bisa menemukan kelebihan dari pesantren Persis yang lain. Misalnya pendalaman terhadap metode hadits, atau ulum al-hadits. Hal tersebut dirasakan setelah saya pribadi mengenyam sekolah lanjutan. Bagi saya, saya tidak akan bisa mendalami wacana hadits kontemporer kalau tidak ada pendasaran yang kukuh. Dalam artian, kalau tidak dikasih di pesantren Persis 34 Cibegol dulu. Misalnya, saya tidak akan mengetahui esensi kritik para Orientalis, kesarjanaan hadits Barat seperti Joseph Schact, Ignaz Goldziher dan Gautier H.A. Juynboll,kalu tidak memahami ulum al-hadits. Dan seperti yang telah kita tahu, pendasaran itulah yang kita dapatkan di pesantres Persis 34 Cibegol.
Terakhir, tulisan sederhana saya ini tidak akan sanggup meluapkan seisi fadhilah yang ada di wilayah keilmuan pesantren Persis 34 Cibegol. Saya hanya ingin mengungkap beberapa fragmen dari ‘aturan keilmuan’ dan ‘produk’ dari pesantren Persis 34 Cibegol saja. Trima kasih kepada KH. M. Romli dan seluruh asatidz yang dengan suka rela mencurahkanfadhilah (imu) pada kita semua (santri). Walaupun saya tahu terima kasih saja tidak akan cukup mewakili kebaikan itu. Mudah-mudahan pesantren Persis 34 Cibegol (beserta seluruh isi dan alumninya)selalu mendapati jalur rido Gusti. Amien.
Posted by 12.40 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar