The God Father: Machiavellian-Corleonian[1]

The God Father: Machiavellian-Corleonian[1]


" I'm gonna make him an offer he can't refuse."[2] 
—Don Vito Corleone—


Film The God Father berhasil meruntuhkan asumsi baik saya mengenai segala bentuk konspirasi. Hal tersebutlah kiranya yang saya temukan ketika dengan liris, bertemu dengan film suntingan Francis Ford Coppola; seorang sutradara handal yang membelakangi trilogi film terkenal: The God father. Film ini diangkat dari novel karya seseorang  yang memenangkan Academy Award untuk kategori Best Adapted Screenplay pada tahun 1972 dan 1974, yaitu Mario Gianluigi Puzo. Secara keseluruhan, film tersebut menyuguhkan pernak-pernik konflik yang berjejal di setiap praktikHasil besutannya sungguh mengagumkan. Memang, agak menjenuhkan, karena kita dihadirkan oleh durasi yang tidak biasa. Namun kalau ditelisik, film tersebut memberi “mandat” untuk mempreteli segala bentuk keniscayaan dan kejujuran. Walaupun dengan nada sumbang pernah dilayangkan oleh Institut Film Amerika,  bahwa Trilogi The God Father adalah film terburuk yang pernah ada sepanjang sejarah; namun pesonanya tidak bisa terelakan. Bahkan di Internet Movie Database (IMDb) film ini mendapatkan rating 9.2, yaitu rating tertinggi yang pernah dicapai sebuah film.

Keterpesonaan terhadap film The God Father hanya akan mungkin kalau kita merumuskannya pada satu kerangka. Dan—saya kira—yang paling mendekati dengan bentuk praktik tersebut adalah kerangka Macheavellian. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa terma ‘Macheavellian’ menyiratkan keburukan, apabila disangkutkan dengan politik. Politik itu kejam, biadab, konflik dan dusta menurut Machiavelli. Nah, lantas apa kaitannya dengan film The God Father? Secara sederhana cerita yang disuguhkan oleh film tersebut merupakan pergulatan para mafia yang tidak kenal lelah mencari keuntungan. Dengan sedikit mengambil fragmen kerangka Machiavelli, maka film tersebut akan menampakan sisi keanggunannya.

Dalam sekual pertama, kita akan dihadirkan oleh gagasan mafianya Don Vito Corleone, yaitu seorang yang awal mula mendapat gelar God Father. Gugus sederhana dari sekuel pertama, menceritakan mengenai perseteruan keluarga Corleone dengan lima keluarga mafia di Amerika. Dalam alurnya, kita bisa melihat sosok yang diperhitungkan oleh keluarga mafia di Amerika, yaitu Don Vito Corleone; orang Sisilia yang menetap di Amerika.

Sekuel kedua dan ketiga tidak jauh berbeda dengan yang pertama: jejak yang terus diikuti oleh para pewarisnya. Dimulai dari perseteruan antara God Father II, Don Michael Corleone, dengan para pembesar mafia yang lain, sampai kekejamannya membunuh seluruh sahabat yang ditengarai antek musuh. Dia pun tokoh berdarah dingin, yang kemudian hari, Don ini akan membunuh kakak kandungnya yang dicurigai seorang pengkhianat. Pada sekuel ketiga, yang merupakan kisah terakhir dari perjalanan keluarga Corleone, diceritakan tentang pergumulan bisnis keluarga tersebut dengan pihak Vatikan. Pada sekuel terakhir ini pun, si pembunuh berdarah dingin, Don Michael Corleone bertobat atas segala prilakunya. Tampuk kekuasaan keluarga mafia ini kemudian diserahkan kepada sepupu Micheal, yaitu Vincent Corleone: sosok God Father generasi ketiga.

Lantas apa hubungannya dengan Niccolo Machiavelli? Mengapa harus dengan Machiavelli, tidak dengan pemikir yang lain? Dalam salah satu tulisannya yang rampung tahun 1516, Il Principe, Machiavelli memaparkan aktor yang kukuh dalam praktik perpolitikan. Sosok yang sangat berperan dalam memajukan kualitas negara. Kata Machiavelli, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan yang dia mau. Pada Il Principe pula, Machiavelli menegaskan adanya virtùsuatu kondisi penguasa yang gagah berani dan jantan. Individu yang harus mempunyai sikap patriotis, garang, licik dan gesit; yang merupakan sikap keharusan yang dimiliki oleh pemimpin. Aktor yang menjalankan keberingasan dalam menjalankan roda kekuasaannya. Individu yang melampaui orang-orang sejenis di jamannya, yang membuat “rakyat” takut—berigidig dan keranjingan seluruh bulu kuduknya.

Dalam film The God Father, virtù tersebut sangat kental terasa dari tokoh tetuanya. Dimulai dari Vito, Michael dan Vincent; kegarangan dan kelicikan menjadi penopang hasrat dalam kekuasaan mereka. Contoh yang menarik adalah, ketika Don Michael Corleone membunuh kakak kandungnya sendiri, hanya karena ingin menyelamatkan aset perusahaan yang dia pegang. Dengan seluruh kekuatan yang dimiliki, seorang God Father mampu melakukan apapun hanya demi melindungi apa yang dianggapnya sakral. Jelas, pada titik itulah virtùmenjelma pada sosok God Father.

Virtùsebetulnya tidak akan nampak keberaniannya kalau tidak disandingkan denganfortuna sebagai kebalikannya. Sebagai kebalikannya, fortuna adalah nasib, yang manusia selalu menyandarkan padanya. Nasib—sebagaimana yang kita kenal—menjadi tangguhan bagi individu yang menjalankan praktik politik. Dalam fortuna, semua pencapaian manusia berakhir pada sikap pasrah kepada nasib. Fortuna pula—yang sebetulnya diambil dari nama seorang dewi—merupakan representasi dari sifat luluhnya manusia terhadap “sesuatu” yang transenden; Tuhan beserta takdir yang telah ditentukannya. Machiavelli yang hidup di masarenaisance, sangat memperlihatkan identitas modernitasnya: menempatkan subjek yang otonom (virtù) dengan Tuhan dan takdir-Nya (fortuna).

Namun, dalam film The God Father, sosok tetua dalam keluarga Corleone selalu menyembunyikan sisi virtùnya. Misalnya, kita bisa melihat bahwa keluarga Corleone pun sangat taat menjalankan sembahyang ke Gereja. Tapi, kalau dilihat secara seksama, keseluruhan tokoh God Father dalam film The God father adalah tokoh yang mempunyaivirtù besar. Mereka pandai menutupi praktik virtùnya, dengan berpura-pura menjadi seorang yang taat pada Tuhan (fortuna). Hal tersebut terepresentasi dari kedekatan tetua Corleone dengan Gereja Vatikan, yang sejatinya melakukan transaksi bisnis ala mafia. Hanya akhir cerita dari sekuel ketiga yang tidak menyiratkan virtù, yaitu Don Michael yang melakukan pengakuan dosa terhadap uskup Vatikan, yang kemudian hari diangkat sebagai Paus baru.

Terakhir, walau dalam kisahnya kita menemukan kebengisan tetua Corleone—bahkan ke keluarganya sendiri. Tapi ada kesan dalam sosok tetua Corleone untuk mengkultuskan norma seorang Sisilia, yaitu Corleonian: seseorang yang memegang aturan permainan God Father.



[1] Tulisan ini diinspirasi oleh esey yang pernah di buat oleh R. William Lidle dan Goenawan Mohamad mengenai Machiavelli.
Tulisan ini juga untuk Nur Aziz dan Muhammad Rifky, yang sebetulnya saya disarankan nonton film The God Father dari mereka (semacam tembusan).

[2] Pada perbincangannya dengan Clemenza, Vito Corleone mengatakan kutipan di atas (lihat di The God Father part II,  1:25:25)
Terjemahan acaknya: “aku akan membuat tawaran yang tidak bisa ditolak olehnya.”



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 12.42 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar