Membincang agama selalu tak habis-habisnya di mata manusia. Keengganan manusia keluar dari pembicaraan tentang agama membuktikan bahwa agama adalah esensial bagi manusia. Tetapi perbincangan mengenai agama pun tak lekas usai hanya pada satu waktu. Semisal, nabi sebagai eksekutor nilai-nilai ilahiyyah tak cukup hanya satu atau dua orang saja; nabi sebagai perumus terus memperbaiki kekurangan; menyempurnakan agama menjadi akumulasi ajaran nabi sebelumnya, yang diakhiri oleh Muhammad SAW. Rumusan mengenai agama secara ontologis berasal dari Tuhan, tetapi secara praktik-sosial nabi beserta ummatnya lah sebagai perumus.
Agama selalu dikaitkan dengan realitas transenden sebagai penopang bagi kehidupan real di dunia ini. Para nabi, sebagai peletak dasar norma agama—secara momentual—menjawab persoalan di tengah keterasingan ummatnya mengenai nilai-
nilai ilahiyyah. Ummat beragama selalu butuh nabi sebagai pengejawantah Bahasa Tuhan supaya dimengerti dengan struktur bahasa manusia. Bahasa sebagai konvensionalitas dari prosesi komunikasi masyarakat tertentu berujung pada pembuntalan Bahasa Tuhan, sehingga norma ketuhanan bisa dimengerti oleh lanskap kebudayaan setempat. Nasr Hamid Abu Zaid misalkan, mengungkapkan apa yang dia sebut muntajtsaqafi; Al-Quran—sebagai norma ketuhanan dalam bentuk bahasa manusia—adalah produk budaya pada satu sisi. Pada sisi yang lain norma agama (baca: Al-Quran) pun muntijtsaqafi: yaitu sebentuk aturan transendental yang datang dari Allah, sebagai Yang Transenden.
Bahasa agama yang me’langit’ itulah yang diusahakan oleh para nabi sebagai perumus dan penafsir resmi kitab suci. Kitab suci sebagai norma agama bersifat ambivalen: pertama, datang dari yang Maha Sunyat, sebentuk transendentalitas dengan bahasa langit; kedua, sekapan bahasa manusia sebagai produk kebudayaan dan konvensi masyarakat tertentu, khususnya bahasa Arab pada Al-Quran. Artinya, pada sisi yang lain pun Al-Quran imanen. Meminjam perkataan Heidegger, “language, is the house of Being” “bahasa adalah rumah bagi Ada”. Bahasa hanya membungkus realitas yang sedemikian jelimetnya apabila tidak dipahami oleh kode.
Kode bahasa yang dibangun oleh Al-Quran adalah sekapan tirai yang menutup kemurniaannya. Tetapi pada sisi yang lain, justru Bahasa Tuhan akan—dan hanya—dimengerti dengan kode bahasa manusia. Kitab suci yang ada adalah model tanda yang tak lebih dari ketertutupan—meminjam istilah fenomenologi—eidosnya. Makna kitab suci sebagai eidos murni hanya akan dimengerti oleh Pengarangnya saja. Beruntung kiranya para nabi diutus, terutama Muhammad dalam membincang Al-Quran sebagai anggaran dari agama Islam. Muhammad SAW seakan jadi penerjemah ulung yang diutus dengan bahasa kaumnya. Mirip dengan Hermes pada mitologi Yunani, Muhammad SAW berhasil menuntun (mengantar) ke pemahaman Al-Quran.[1]
Berbicara agama (Islam) secara utuh berarti masuk pada aturan main yang diperintah Sang Maha Sunyat pada kitab suci-Nya. Pembacaan terhadap Al-Quran secara metodis mempunyai berbagai rupa, seakan membuka ruang bagi pembaca untuk menafsir. Semenjak Rasulullah meninggal, kaum beragama harus membuka tabir dengan usahanya sendiri. Mengingat Rasulullah adalah rujukan bagi ummat yang ingin bertanya, maka ijtihad lah yang diperlukan. Idealisasi dari pembacaan terhadap Al-Quran adalah untuk mengejawantahkan, apa yang dikatakan Lacan dengan La Reél: dengan bahasa Goenawan Mohammad—mewujudnya “Sang Antah” pada pola kehidupan.
Menurut Hassan Hanafi, realitas keagaman bisa dibagi dengan konsep diadik: ad-dien dankhitab ad-dien. Ad-dien adalah agama itu sendiri: agama pada system murninya yang berusaha diejawantahkan oleh pelaku agama. Sedangkan khitab ad-dien adalah wacana keagamaan: realitas keagamaan yang ditafsir oleh pemeluknya. Sistem agama murni yang berupa aturan dan titah Gusti itu direpresentasikan dalam pola prilaku berdasarkan pembacaan dan tafsirannya terhadap kitab suci. Ad-dien selamanya tidak akan mewujud kecuali setelah diejawantahkan oleh pemeluknya. Ejawantah itulah yang disebut Hassan Hanafi dengan khitab ad-dien, wacana keagaman hasil tafsiran seseorang terhadap agamanya. Selamanya agama tidak akan muncul, kecuali diwujudkan oleh representasi wacana keagamaan pemeluknya. Agama—menurut Hassan Hanafi—adalah realitas yang disentuh dengan pembacaan ala optik “kemanusiaan”, yaitu lewat wacana keagamaan lah agama akan ada.
Robert Hodge dan Ghunter Kress pada Social Semiotics megungkapkan dengan istilahlogonomic system, yaitu pembacaan yang menanggalkan kode bahasa teks supaya sesuai dengan konteks sosio-kultural yang ditempati si pembaca. Pada konteks pembacaan Al-Quran, system logonomic memberi arti yang sangat penting dalam pengisian wacana keagamaan yang relevan dengan kondisi sosiologis-kulturil dimana kita tempati. Rentang waktu turunnya Al-Quran dengan pembaca sangatlah jauh, apalagi kondisi sosiologis dimana kita hidup. Butuh penafsiran dan pengisian kode tafsiran yang lebih baru dan relevan: itulah pembacaan ala logonomic system.
Kitab suci sebagai rujukan ummat beragama mempunyai problematika tersendiri karena penafsiran terhadap Al-Quran akan terus berkesinambungan beserta penafsirnya sendiri. Apalagi pembacaan kitab suci itu dilakukan dengan fetisisme system, yaitu perumusan ulang tafsiran kitab suci dengan maksud tertentu.
Fetisisme agama dan komodifikasi
Seperti yang disebut di muka, pembacaan terhadap Al-Quran sebagai pedoman kaum beragama bisa dengan beragam rupa. Salah satu yang sekarang marak digunakan adalah pembacaan fetish terhadap kitab suci. Secara sederhana, fetisisme diambil dari kata Portugis fetico, yang berarti menyihir dan menipu. Konsep fetisisme menjadi kesohor karena Karl Marx memperbincangkannya dalam komodifikasi produksi yang dihasilkan kaum kapitalis. Komodifikasi adalah sebentuk penyalah gunaan produksi dengan menjuruskan pada nilai tukar (exchange value).
Misalnya, pada era post-industri sekarang ini, komodifikasi berjalan secara massif lewat berbagai media, terutama dengan virtualisasi citra piktorial dan audiosasi citra akustik: itulah yang menurut pendekatan Marxian dengan fetisisme. Fetisisme berlaku dimana saja, demi menyihir para pengguna (user) untuk mengikuti alur yang telah dilesatkan oleh kaum kapitalis. Kapitalis sengaja menciptakan sihirya untuk menjerat para pengguna produk supaya lebih dalam dan lebih terperangah.
Pada pembacaan fetis terhadap agama,—khususnya kitab suci—si pembaca dengan segala upayanya, menghapuskan nilai-nilai retrospektif keagamaan dan keasliaanya (fixed origin)dengan artifisialitas dan kesemuan atas prospeksi kepentingannya. Nalar dan transferensi yang selalu diusung dalam pembacaan terhadap Al-Quran diganti dengan nilai rendah dari sifat keduniawian: banalitas pembacaan agama. Agama yang seyogyanya dipandang luhurkarena transendentalitasnya, berubah menjadi banalitas duniawiyyah yang mementingkan arti exchange value.
Arti dan makna yang selalu dicari pemeluk agama ketika membaca Al-Quran, dipelintir oleh pembacaan fetis demi “nilai profit”. Pembacaan fetis terhadap kitab suci—sebagai pegangan kaum beragama—mengandaikan kekosongan makna di dalamnya, kemudian lekas diisi oleh kepentingan pribadi ataupun kelompok. Selanjutnya, saya akan sebut “ideolog banalis” bagi setiap siapa saja yang menggunakan pembacaan fetis terhadap agama, yaitu pemelorotan nilai-nilai—yang seharusnya spiritual—dengan profit dan keuntungan.
Energi ideologi banalitas itu terrepresentasi pada berbagai jargon agama yang digunakan sebagai komodifikasi. Komoditas lah yang selalu diusung dibalik artikulasi ayat-ayat Tuhan yang didengungkan. Alih-alih sebagai pedoman, Al-Quran dipelintir habis-habisan demi sebentuk hal yang sangat rendah: kultur bawah serta kebudayaan yang dangkal. Theodore Adorno membagi dua kualitas kebudayaan: yaitu high culture dan low culture. Ayat suci yang seyogianya menjadikan manusia berperadaban tinggi; berorientasi untuk ibadah dengan dipicu bacaan Al-Qurannya; membentuk kebudayaan yang agung (high culture)dengan pemahaman komprehensifnya terhadap Al-Quran; pada pembacaan fetish, keagungan kebudayaan hasil dari akumulasi praktik keagamaan digeser terhadap low culture, yaitu sebentuk kebudayaan beragama yang dangkal dan banal. Hal tersebut dimungkinkan karena dibentuk oleh pikiran pasaran dan profit: ideologi banalitas.
Masalahnya, komodifikasi agama menjadi struktur yang merasuk kebanyakan aktivis dan intelektual dewasa ini. Jargon agama hanya sebagai topeng bagi sebentuk realitas sesungguhnya; pemerkosaan ayat-ayat suci dengan rangkaian kerendahannya: yakni kepentingan profit, kekuasaan politik dan hasrat “perut” saja. Pembacaan dekonstrukstif terhadap ayat suci digunakan demi mencari petanda (signefied) lain, yang lebih ideologis dan politis, sesampai makna kitab suci diisi dengan kepentingan individu atau kelompok saja.[2]
Struktur agama yang demikian mempunyai dua dimensi: pertama, dimensi permukaan yang denotatif, menggunakan ayat-ayat sebagai topeng; kedua, struktur terdalam dalam konotasinya, yaitu hasrat akan profit dan kuasa lainnya (desiring to any power). Agama pada titik itu hanya dijadikan komodifikasi oleh pembacanya: yaitu pembacaan fetis dari setiap individu dan golongan. Pun, menjadi masalah serius ketika kebudayaan banal tersebut menjadi ideologi yang terbenam kuat pada setiap pembaca: dialah ideologi banalitas. Michel Foucault misalkan menyebut discourse pada segala bentuk wacana yang mengalir dalam praktik kehidupan yang dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan hasil bacaannya. Ketika menjadi discourse, ada semacam power yang menggerakan setiap bentuk praktik dan pembacaan. Ketika sudah menjadi budaya, power pada discourse itu tidak lain dan tidak bukan adalah nilai profit. Wacana keagamaan adalah diskursus yang mesti membawa tujuan exchange value pada segala bentuk praktiknya.
Kaum ideolog banalis melakukan imagologi[3] terhadap agama dengan menggambarkan citra baiknya, padahal dengan maksud mengadakan komodifikasi. Celakanya, apabila citra(image) agama—yang selalu didengungkan ideolog banalis—menjadi cermin bagi realitas keagamaan seseorang, maka yang ada hanya gambaran palsu (pseudo image). Jacques Lacan menandaskan posisi gambaran palsu diri itu dengan istilah spaltung. Seyogianya pembacaan terhadap kitab suci menjadi lebih mengerti terhadap Sang Liyan; baik mengerti sesama manusia, apalagi kepada Sang Maha Sunyat (Allah SWT), karena kitab suci adalah salah satu tanda ketuhanan (devine sign), bukan kepasrahan meditatif (Gelassenheit)terhadap segala bentuk keber”lain”an. Ungkapan Allah SWT: “...wa la tasytaru bi aayatiy tsamanan qalilan...”[4]
Mungkin. Wallahu a'lam bishawab.
[1] Pada beberapa tempat, semisal ayat-ayat muqatha’ah maknanya begitu sulit dicari—kalau tak bisa dikatakan tak bisa—walaupun setingkat Nabi Muhammad.
[2] Jangan-jangan bukan pembacaan dekonstruktif, tapi destruktif; mengahncurkan keluhuran agama.
[3] Imagologi adalah pembentukan citra (image) sebagai yang “ada” pada dirinya. Pada kajian ini, imagologi digunakan untuk memberikan image—seakan-akan—baik pada agama, padahal ada nilai profit sebagaimana dijadikannya agama sebagai komoditas.
[4] Potongan QS. Al-Baqarah: 41.
Posted by 12.36 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar