Oleh: IHSAN FAUZAL FIRDAUS
Dalam ilmu komunikasi sering kita dengar istilah hypodermic needle model. Secara harfiahhypodermic berarti “di bawah kulit”, namun dalam ilmu komunikasi, khususnya yang bertalian dengan komunikasi massa, hypodermic needle model adalah suatu model komunikasi yang mengandung anggapan dasar bahwa media massa mengandung efek yang kuat, terarah, segera dan langsung bagi komunikan. Menurut Elhu Katz, model tersebut terdiri dari: 1) media massa yang ampuh yang mampu memasukkan gagasan-gagasan komunikator terhadap massa komunikan; 2) massa komunikan yang terpecah belah, yang terhubungkan dengan media massa, tetapi sebaliknya, komunikan tidak terhubungkan satu sama lain (Onong Uchjana, 2003).
Model komunikasi jenis ini sebetulnya merupakan jenis komunikasi yang dipakai oleh kominakator dengan mempergunakan perangkat teknologi semacam televisi atau radio. Kita bisa melihat bahwa media televisi yang kita saksiskan sekarang hanyalah “corong” untuk mengekspresikan gagasan para pemiliknya. Untuk menyebut salah satunya, media televisi TvOne yang dimilikki oleh Politikus Abu Rizal Bakrie, tidak bisa dimungkiri adalah media yang sering mengekspresikan kepentingan “sang komunikator”. TvOne sering mengampanyekan proyek partai Golkar, yang diketuai Abu Rizal dalam sela-sela acaranya. Rasanya, belum pernah kita saksikan media ini mengampanyekan partai atau orang lain yang tidak berhubungan secara politis dengannya.
Namun sayangnya, hypodermic needle model menjadi tidak berlaku karena beberapa alasan. Pertama, sang komunikator tidak lagi homolog. Di zaman Orde Baru, arus informasi dan media harus terarah pada kebijakan yang tunggal. Misalnya, TVRI sebagai corong utama dalam memunculkan gagasan komunikatornya. Dan kita tahu, bahwa setiap komunikator yang berusaha memengaruhi massa komunikan adalah hasil olah kepentingan Orde Baru dalam upaya menyebarkan informasi ideologisnya.
Kedua, semakin banyaknya kepentingan para pemilik media massa. Di era sekarang, ketika dunia pertelevisian bukan lagi hanya satu saluran, kepentingan media massa semakin menggebu dalam mencapai misinya. Seiring berkembangnya waktu, kepentingan media massa pun semakin bertambah banyak. Artinya, di era demokratis sekarang ini, hypodermic needle model menjadi nihil karena kepentingan media bukan lagi tunggal seperti di zaman Orde Baru. Hal tersebut senada dengan film “Di Balik Frekuensi”, yang menceritakan bagaimana pemilik media televisi mempunyai kepentingan ideologis dan politisnya dalam upaya memengaruhi massa komunikan.
Ketiga, semakin mapannya media internet. Dimungkiri atau tidak, media internet menjadi salah satu arus informasi penting dewasa ini. Seseorang hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengakses situs tujuan. Dengan hanya mengetik alamat web, kemudian klik enter,seseorang bisa mengetahui informasi dan pemberitaan terkini. Dengan seringnya seseorang menggunakan internet, berarti telah menghilangkan batas riil dunia. Bayangkan saja, media massa yang hanya mampu menjerat massa komunikan yang tidak terhubung satu sama lain, justru di jaman sekarang, hal tersebut bisa hilang. Dengan adanya jejaring sosial semacam Twitter dan Facebook, massa komunikan tidak lagi terpecah seperti yang disangka Katz.
Keunggulan media internet ini bukan hanya dipergunakan bagi para komunikan, tetapi memberikan manfaat juga bagi komunikator. Dengan semakin ramainya orang membuat situs sendiri, semakin banyak pula kominakator yang berusaha memengaruhi gagasan massa komunikan melalui sistem web 2.0 ini.
Media untuk berdialog
Menurut Ida Pajar Priyanto, Informasi pada sebuah kampanye akan mampu memengaruhi pemilih jika pemilih punya gambaran tentang calon. Beliau memaparkan pada tahun 2014, televisi jelas masih punya dampak terhadap calon, tetapi informasi secara online akan kian berpengaruh karena Indonesia pengguna internet ke-8 terbesar di dunia dengan jumlah pengguna 55 juta orang (tekno.kompas.com).
Penggunaan internet dengan maksud politik paling mula dilakukan oleh Barack Obama. Obama berhasil merekrut para peminatnya lewat layanan terbuka pos-el ataupun media jejaring sosial lainnya. Alhasil, warga Amerika Serikat tertarik dengan kampanye onlineObama, sesampai mengantarkannya menjadi presiden AS.
Kini, ketika media sosial internet menjadi suatu keniscayaan politik, ramai-ramailah politisi di kita membuat medianya sendiri. Bahkan, SBY pun mempunyai akun twitter untuk menyosialisasikan semua gagasannya lewat kicauan 140 karakter tersebut.
Komunikasi hypodermic menjadi suatu kesulitan ketika semakin banyaknya ideologi politik berbeda yang bertarung lewat media massa. Artinya, politisi di kita harus pandai memanfaatkan jejaring internet yang semakin massif dipergunakan masyarakat. Dalam komunikasi media sosial internet, kita tidak hanya dijadikan manusia yang pasif yang turut terhadap apa saja yang dikampanyekan lewat kata-kata ajakan. Apabila lewat media massa macam televisi kita hanya termangu diam sambil mendengar ocehan politik para politikus, maka di media sosial internet kita bisa berdialog, berbincang juga menyanggah pendapat sang politisi baik lewat mention, message ataupun komentar di situs pemiliknya.
Penulis, Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Posted by 09.28 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar