Seputar Tanda dan Kebohongannya

Seputar Tanda dan Kebohongannya


(Kritik atas Pendasaran Tanda, Nilai dan Implementasinya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Oleh: Fauzal Ihsan[1]


“Makna merepresentasikan dirinya lewat tanda-tanda.”

Itulah secuil kutipan yang saya ingat setelah berpapasan dengan Roland Barthes lewat karyanya, Mythologies. Untung saja buku tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kalau tidak, saya pasti kelabakan untuk memahaminya.[2]

Secara apik Roland Barthes memaparkan segi pertandaan tingkat kedua (second order semiological-system) pada pelbagai tanda yang ada di budaya massa. Pada Saussure, konsep penanda-petanda—yang menentukan proses komunikasi—menghasilkan tanda: pesan yang menjadi proses komunikasi pada peristiwa langage; sekaligus Saussure juga menekankan tentang relasi penanda-petanda yang bersifat arbitrer (semena).

Kearbitreran penanda-petanda tersebut ditelisik oleh Barthes sehingga menghasilkan apa yang dia sebut mitos.[3] Barthes memaparkan bahwa penanda apapun akan menjadi ideologi tertentu apabila ditangkap oleh mitos. Mitos tidak membicarakan apa makna benda itu, tetapi bagaimana benda itu bisa bermakna. Bentuk representasi yang ada—kata Barthes—adalah mitos yang menyematkan ideologi tertentu pada tanda konotasinya. Contohnya, bunga—sebagai penanda—sudah mempunyai arti (petanda) yang netral, yaitu: bunga sebagai bunga, yang mempunyai kelopak, tangkai, dan beberapa helai daun (denotasi). Tetapi setelah ditangkap oleh mitos, bunga bukan hanya bunga an sich, tetapi tersemat pertandaan tingkat dua: kasih sayang (konotasi). Mitos tidak menangkap objek murni. Mitos selalu saja menangkap objek yang telah ada “petanda awal” sebelumnya. Pembacaan semiotis ala Barthes ini mencoba membongkar makna terdalam dari tanda, yaitu bagaimana tanda menghasilkan makna tertentu.

Pembacaan semiotis ala Barthes—dengan elaborasi yang saya lakukan—itu akan saya praktikan dalam kaitannya dengan teks yang akan saya kaji, yaitu UIN SGD Bandung; pembacaan terhadap UIN SGD pun memberi semacam asumsi baru buat saya untuk mengkritik Barthes pada Mythologies.

Kebetulan, saya sedang menjadi pelajar di UIN Sunan Gunung Djati Bandung: sebuah universitas yang cukup tersohor dengan mode pembelajaran Islamnya; perguruan tinggi yang mengedepankan jargon agama; serta mengedepankan akhlaq mulia pada brosur penerimaan mahasiswa baru.

Pembacaan yang saya lakukan terhadap bentuk praktik dan representasi tanda di UIN akhirnya dilakukan dalam rangka kritik terhadap UIN Sunan Gunung Djati Bandung; baik sebagai sosok, yaitu praktik individu dan kelompok di wilayah kampus; UIN Sunan Gunung Djati sebagai institusi; pun, pendasaran epistemologis bagi jargon-jargon agama yang “diorasikan” oleh UIN SGD Bandung. Kesemua hal tersebut akan didasarkan terhadap hal tersebut yang merupakan representasi tanda-tanda yang dipakai oleh UIN SGD Bandung sebagai landasannya.

UIN SGD Bandung sebagai salah satu perguruan tinggi Islam merupakan salah satu dari sekian banyak perguruan tinggi negri—selain ilmu pengetahuan umum—yang berbasis pengetahuan agama. Bukan hanya itu, UIN SGD pula selalu menerapkan tema akhlaq karimah: suatu moral universal ketehuanan atas doktrin Islam. UIN SGD secara sengaja mengombinasikan pengetahuan umum dan agama supaya terjadi kesesuaian—meminjam istilah Ali Shariati—antara ilmu “langit” dan ilmu “bumi/lumpur”.

Perguruan tinggi berbasis Islam ini menjadi rujukan bagi setiap orang tua siswa yang ingin menyekolahkan (kuliah) anaknya menjadi mahasiswa. Tak lain, orang tua siswa berkeinginan bahwa anaknya harus memiliki kemampuan. Kemampuan itu diharapkan bukan hanya menuntun sang anak untuk memiliki landasan keilmuan yang mapan, tetapi perguruan tinggi memberi harapan yang berorientasi pada “spiritualitas ketuhanan.”

Secara umum (bon sens dalam istilah Barthes) UIN SGD menempatkan agama sebagai landasan berpijak. Seperti yang telah kita ketahui, agama Islam—dengan segala norma dan aturannya—telah mempunyai arti (meaning) tersendiri, bahkan sebelum kedatangan UIN SGD. Agama Islam—sebagai penanda—sudah sejak dari dulu menanamkan petanda bagi para pengikutnya. Secara semantis, Islam adalah hukum Tuhan yang universal, seperti yang Allah sitir dengan kalimat “rahmatan lil alamien”. Islam mengungkapkan dirinya pada kitab suci, yaitu al-Quran, beserta tuturan Nabi Muhammad, yaitu hadits. Selanjutnya, al-Quran dan hadits tersebut akan saya sebut kitab suci.

Teks suci sebagai norma tertulis sebetulnya mempunyai problematika tersendiri terhadap penganutnya: masalah pembacaan yang tidak kunjung selesai; ijtihad yang belum tuntas; serta permasalahan ummat yang belum terjawab oleh keduanya. Tapi saya tidak akan membincang permasalahan pembacaan tersebut: yang saya ingin lakukan adalah membincang pembacaan terhadap pembacaan teks suci.

Katakanlah, bahwa teks suci adalah penanda pertamanya. Citra visual dalam bentuk kalimat-kalimat dengan langue Arab. Penelitian sinkronis pada bahasa Arab akan saya tekankan dulu pada zaman Nabi Muhammad sekitar 14 abad yang lalu. Hal tersebut dilakukan karena pembacaan diakronis terhadap bahasa Arab akan sulit dilakukan. Teks suci sebagai penanda berelasi secara arbitrer dengan petandanya, yaitu arti (meaning) dalam teks tersebut. Arti pada penanda (teks suci) hanya sebagai pembacaan literal padanya: apa yang dikatakan teks suci toh, maka itulah artinya (denotasi).

Teks suci sebagai penanda menjadi kompleks apabila dikaitkan dengan pembacaan mitosala Barthes, karena munculnya teks suci tersebut tidak sekaligus. Berhubung munculnya tidak sekaligus: turunnya secara berangsur-angsur (tadrijiy), maka pembacaan pun akan saya lakukan secara (agak) hati-hati.

Saya rasa pada zaman Nabi pun, mitos pada penanda (teks suci) telah dibangun sebelumnya. Pada Barthes, mitos itu dibangun setelah penanda mempunyai petanda awal dulu (tanda penuh); sedangkan pada teks suci, mitosnya itu telah dibangun. Contohnya, mitos pada al-Quran telah dibangun sebelum teks al-Quran turun semua. Maksud saya, mitos pada al-Quran telah dibenamkan oleh Muhammad sebelum al-Quran lengkap: berangsurnya turun al-Quran tidak menghalangi Nabi untuk penanaman mitos, yaitu teks sebagai penyelamat. Mitos pada teks suci telah dikonvensi sebagai teks yang dapat  menyelamatkan penganutnya dari siksaan: api neraka yang berada di akhirat (konotasi). Mitos teks suci sebagai pembebas dari belenggu neraka adalah tingkat pertandaan kedua menurut Barthes.

Sekarang kita berbicara tentang UIN SGD lagi. UIN SGD adalah salah satu dari sekian banyak perguruan tinggi negri Islam yang lain. Saya tidak ingin berbicara siapa yang mula-mula mendirikan perguruan tinggi Islam, para pembaca bisa membaca di tempat lain tentang sejarah pendirian perguruan tinggi Islam negri di Indonesia. Nah, kita telah tahu bahwa UIN merupakan konversi dari IAIN, yang berlaku beberapa tahun yang lalu di beberapa tempat: Jakarta, Jogjakarta, Makasar, juga di Bandung. UIN yang saya bicarakan ini adalah UIN SGD Bandung: salah satu perguruan tinggi Islam negri di Bandung.

Secara semiotis, UIN SGD—bahkan UIN dan IAIN yang lain pula—telah memilin sistem pertandaan baru. Bisa dilihat secara jelas, bahwa perguruan tinggi negri ini mengambil jargon-jargon keagamaan untuk merekrut mahasiswanya. UIN SGD sebagai institusi, adalah kumpulan para elite dan birokrat kampus telah membawakan rupa-rupa jargon yang mereka ambil dari teks suci. Seperti yang kita tahu, teks suci itu sudah punya petanda (arti) awal dan petanda dua, yang disematkan mitos padanya: penyejahteraan ummat Islam dalam laku supaya tidak terbelenggu neraka di akhirat kelak. Kemudian, penanda pada teks suci secara sengaja dikonvensi oleh kaum elite dan birokrat kampus dengan mitos yang baru. Setelah mitos pada zaman Muhammad itu terbangun secara konvensional, kini, UIN SGD melesatkan mitos baru pula pada teks suci tersebut dengan mengombinasikannya dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan dikampus.

Selanjutnya saya akan sebut the third order semiological system (sistem pertandaan tingkat tiga)pada praktik pelesatan makna ketiga ini. Apabila teks suci pada petanda awalnya yaitu pemahaman toh terhadap teks; petanda kedua teks suci bisa melahirkan hidayah bagi penganutnya, yaitu membebaskan pembelengguan neraka bagi muttabi; pada pertandaan ketiga, UIN SGD sebagai institusi berhasil melesatkan mitos baru. Mitos baru tersebut yaitu kebergengsian ketika masuk perguruan tinggi negri. Suatu nilai prestisius yang tertanam atas dasar penumbuhan karakter bagi para peminat UIN SGD. Pada tataran pertandaan ketiga ini, mitos tersebut bisa diartikan juga sebagai institusi pendidikan yang menjadikan para mahasiswanya untuk mencapai kesempurnaan dua alam: dunia dan akhirat—dengan segala nilai prestisius “kemahasiswaan” yang disandang.

Pertandaan itu muncul dengan segala rupa tanda-tanda yang dibangun oleh UIN SGD Bandung: dimulai dari brosur masuk UIN SGD; website kampus resmi; cerita memikat dari para dosen dan mahasiwa kepada calon mahasiswa; atau logo UIN sendiri.

Ternyata, pertandaan  yang muncul tersebut tidak sesuai: “teks” yang dimunculkan dan praktik yang berlaku terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Tanda-tanda yang berseliweran tersebut hanya merupakan tanda palsu (artificial sign) karena relitas sebenarnya berkata berbeda. Contohnya, ketika saya menjadi calon mahasiswa, saya tertarik masuk UIN SGD karena melihat brosur-brosur yang ada. Tertera di sana bahwa UIN SGD mempunyai keunggulan karena mampu mengombinasikan ilmu “langit” dan ilmu “bumi”. Misalnya, setelah saya membaca brosur fakultas Ushuluddin, yang salah satunya adalah jurusan Tafsir dan Hadits. Tertera di sana bahwa kajian kontemporer seperti semiotika dan hermeneutika dikaji secara serius. Tapi, kenyaataanya berbicara lain, Mata Kuliahnya saja sudah dihilangkan sejak lama. Ada lagi, praktikum yang tak jelas alur tujuannya. Ini pun berlangsung di fakultas dan jurusan lain. Secara sintagmatis, UIN SGD beserta fakultas dan jurusannya mengambil kata-kata memikat untuk menarik minat calon mahasiswa dengan upaya pengombinasian teks suci dan pengetahuan umum.

Tak sampai disitu. Setelah masuk,  kondisi perpolitikan yang barbar, dengan budaya gontok-gontokkannya. Dimulai dari birokrat sampai mahasiswa kampus menjalankan praktik politik yang tak lebih hanya kepentingan golongan dan individu saja. Satelah saya lihat, tataran pejabat kampus—kebanyakan—diisi oleh orang-orang “berbaju”. Contohnya, kebanyakan—walau tak semua—dosen dulunya adalah aktivis organisasi tertentu. Bagi saya, mitos pertandaan ketiga itu hanya sekedar kekeliruan petanda (false meaning) ketika makna yang dibangun dari tanda-tanda itu tidak sesuai dengan praktik individu-individu  di UIN SGD.

Nilai profit adalah salah satu diantara latar belakang dilesatkannya mitos baru itu. Mitos baru tersebut secara tidak sadar menjadi fetis baru bagi para calon mahasiswa. Pembacaanfetis—seperti yang dikatakan Yasraf—adalah sebentuk pembacaan teks dengan maksud menyihir para konsumen untuk masuk pada jejaring struktur yang dilesatkan: demi nilai profit yaitu—yang saya sebut— “ideologi banalitas”. Dan saya kira, UIN SGD telah berhasil melakukan pembacaan fetis terhadap tek suci.

Bagi saya, mitos palsu (artificial myth) itu merupakan cara bagi kaum elite untuk mempertahankan keuntungannya. Baik keuntungan berupa nilai prestisius ketika banyak mahasiswa yang masuk; atau nilai profit yang selalu diungkap lewat topeng tridarma perguruan tinggi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Seperti apa yang Barthes bilang, bahwa ketika kita masuk pada jejaring struktur tersebut, maka penikmat tanda hanya akan jadi petit-bourgeois. Suatu keadaan dimana penikmat tanda hanya mengkonsumsi tanda-tanda yang dilesatkan para burjuis—atau elite pada pembacaan saya atas UIN SGD— secara passif. Barthes bilang, orang tersebut dengan istilah doxa.

Kritik diatas dilakukan sebagai upaya penelisikan tanda yang berhamburan di UIN SGD Bandung: bahwa UIN SGD telah membenamkan mitos baru  setelah teks awal mempunyai mitos. Hal tersebut berbeda pada mythologiesnya Barthes, karena sistem pertandaan yang diungkapkan hanya stuck pada tingkat kedua. Mitos menurut Barthes berarti makna konotatif pada sebuah teks. Barthes seakan tidak memberi peluang untuk melakukan pembacaan secara terus menerus. Barthes tidak memperkiraan bahwa pemaknaan bisa saja digunakan untuk misi-misi tertentu. Misalnya, seorang pedagang bunga akan mereparasi makna konotatif dari bunga mawar: bukan hanya sebagai tanda kasih sayang, tetapi bisa juga sebagai tanda orang yang mati. Kata Barthes, mitos menangkap tanda netral (natural sign) dengan penyematan ideologi untuk “dianggap” universal, tetapi pada pembacaan UIN SGD tidak terjadi: UIN SGD menangkap teks yang telah mempunyai mitos sebelumnya. Artinya, mitos tidak selalu menangkap teks awal, tetapi mitos juga selalu menangkap  teks yang telah mempunyai mitos pula. Seperti apa yang ditandaskan Derrida, bahwa pembacaan  terhadap teks selalu terbuka untuk menemukan makna baru—dengan mitos baru. Sayangnya pembacaan yang saya lakukan atas UIN SGD tidak seekstrim pembacaan yang disarankan Derrida. Apabila Derrida melepaskan akar kesejarahan yang otentik (fixed origin) demi memberi keleluasaan penafsiran bagi pembaca; sampai dengan menanggalkan kode bahasa konvensional yang dipakai oleh pengarang dan pengirim mitos, maka saya masih memegang originalitas kode pada tanda tersebut.

Catatan kedua saya untuk Barthes, bahwa mitos yang ada pada system pertandaan tidak selamanya menangkap teks (atau tanda) netral. Pada kasus teks keagamaan, mitos itu telah dibangun sebelum tandanya ada secara lengkap. Sebagaimana yang saya paparkan di muka, bahwa mitos al-Quran telah hadir sebelum teks al-Quran rampung turun semua.[4]

Catatan terakhir dari saya bahwa suatu teori bukan untuk diperkukuh dengan suatu pembacaan, tetapi pembacaan harus melahirkan teori baru, walaupun awal pembacaan objek kajian berawal dari optik atau teori awal. Kalau Anda bertanya “Beraninya sih Anda mengkritik Barthes, yang salah seorang semiotisi kesohor itu? Bukannya saya berani untuk mengkritik teori semiotik “mitos” ala Barthes, tetapi bagi saya keilmiahan didapat ketika teori tidak mapan kritik.[5] Pembacaan saya terhadap representasi tanda-tanda di/oleh UIN SGD Bandung menginsafi bahwa teori tidak abadi kebenarannya.[6]





[1] “Konon”, mahasiswa UIN SGD Bandung semester VI. Serta ikut mejeng sambil ngopi di salah satu UKM di UIN SGD.

[2] Judul bahasa Indonesianya: “Membedah Mitos-mitos Budaya Massa.”

[3] Mitos pada Barthes bukan seperti mitos menurut para antropolog, yaitu epik dan cerita rakyat yang berbau magis. Mitos pada Barthes adalah salah satu bentuk pertandaan.

[4] Sebetulnya ketertutupan teks dari mitos tersebut pula yang nantinya Barthes insafi. Pada fase poststrukturalis, Barthes tidak berbicara lagi pembuktian teks sehingga “bagaimana makna (dan mitos) tercipta darinya”, tetapi Barthes menekankan keaktifan pembaca. Hal tersebut dimungkinkan karena keterpengaruhannya dari tulisan-tulisan Derrida, yang sebagai eksponen poststruktural. Barthes bilang pada salah satu artikelnya: “La naissance du lecteur doit se payer de la mort de l'Auteur” “Kelahiran pembaca harus dibayar dengan,kematian pengarang.” Itulah sebagai penanda awal keterputusann Barthes dari strukturalismenya.

[5] Kali ini—dan hanya untuk kali ini saya ingin mengutipnya—saya mengingat ucapan Yoga ZaraAndrita.

[6] Akhirnya, semua yang ada pada tulisan ini terbuka bagi penafsiran dan penyanggahan ulang. Terima kasih.





share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 12.48 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar