Lelaki hidung belang hilir mudik di lokalisasi prostitusi. Pun, para tuna susila melambaikan tangan sambil menyeru para kurawa. Pelbagai cara dilakukan untuk mencicipi esensi cinta yang holistik dan serba intrik itu. Kenistaan dan kebaikan bergumul maut pada cinta bagai manisnya kopi dan pahitnya gula.
Anehnya cinta selalu dipadu-padankan dengan pacaran. Katanya, kita selalu termangu, meraba gamang sambil mulut menganga dan terkatup mengulaikan mata menunggu sang pacar. Menunggu sms, telphon, ketemuan dan yang lainnya. Pacaran dipersonifikasikan lewat harapan dan angan yang mengambang. Alangkah pandirnya!. Masalahnya, kalau memang cinta bisa di dapat dari pacaran, so what?. (Pertama) lantas, pantaskah intimidasi disuntikkan seorang pasangan tiran kepada mempelainya?. Semburat wajah muram di terbitkan dan cacian disabdakan dari congor ketika pasangan berbuat yang bukan maunya. Jalurnya di penjara oleh intimidasi. Kreativitasnya terkoptasi segara larangan.
(Kedua) tak sadar sudah menjadi lego yang bisa dibentuk apapun sampai ke”aku”annya hilang, melebur pada daerah teritorial kemauan pasangan. Ketika tertegun, merununduk sambil merenung, berkatalah ia:
“Kok ketika pacaran, aku serasa bukan aku?”
Semua pun akan meluncur pada satu kordinat yang berwasta “jajahan”. Pria menjajah wanita sama dengan wanita menjajah pria. Kalu memang keinovatifannya mengalir deras ketika pacaran sih gak apa-apa, tapi ketika ada intimidasi yang bersifat represif maupun preventif, serta sifat pribadi (keakuan nya) telah terkerangkeng, maka Hak Asasi Cinta (HAC) telah ternodai.
Pembebasan pun menjadi hunian dambaan di saat negara cinta yang otoriter itu mewujud pacaran. Pembebasan itu namanya demokrasi!. Raungan jalang bertransformasi jadi lantunan indah dari nada-nada demokrasi. Demokrasi atas landasn idiom-idiom baru yang di buntal lewat egalité, freternité, liberté, hasil catutan Revolusi Prancis. Tak perlu lah Montesquieu mengartikulasikannya menjadi tiga kekuasaan, atau Imam Khomeini yang membuat wilayat al-faqih. Toh ini bukan Negara demokrasi, tapi demokrasi cinta yang bukan gagasannya Aristoteles dan Sigmund Freud tentang pendeskriditan perempuan, ataupun sinetron “Suami-suami Takut Istri”, yang membentuk suatu jajahan terhadap lelaki. Ini adalah cinta yang terbuka terhadap semua aspirasi.
Lantas pertanyaanya.
Jawablah dengan teliti dan dahulukan soal yang mudah!
-Apakah Anda pernah/sering mengintimidasi pasangan Anda dengan segala bentuk pengerangkengannya?
-Mengahambat revolusi sang pacar?
_Ataupun Kau tak sengaja menghilangkan sifat ke”aku”an mu demi sebongkah cinta semu itu?
Taubatlah!. Karena cinta bukanlah wayang yang dimainkan dalang berjubah sayang. Dibutuhkan pencerahan dan pembebasan lewat percaturan di bidak demokrasi. Banyak berharap akan menurunkan kasta dari ksatria menjadi derajat sudra. Maka bersemayamlah dalam ceruk-ceruk keterbukaan tanpa system feodal itu!.
Lahirlah “Love and liberation”, yang semacam refleksi atas Tuhan. Karena cinta esensial itu berakhir pada Tuhan, yaitu ketauhidan yang menjunjung tinggi kebebasan, seperti konsepsinya Asgar Ali Engineer.
Ketika pacaran tak terselamatkan, maka:
Jadilah pena yang menjajaki semua tinta
Janganlah pula kau jajaki tinta yang akan menodai secarik kertas putih bersihmu itu!.
Renungkan dulu dengan asas-asas yang logis
Jangan rasakan dulu dengan hasutan intuisi!
*Note ini dibuat penulis atas requestnya sang anak didikan dan murid dadakan Ajengkelin Kabinabina. Selamat membaca!
** Padahal bagi penulis, cinta vis a vis pacaran tak menggusarkan sama sekali.
Posted by 12.11 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar