Fauzal Ihsan[2]
Dunia adalah tempat berpijak manusia, dimana kehidupan memberi arti tersendiri. Manusia adalah salah sebuah makhluk dari beberapa makhluk penghuni dunia ini. Manusia selalu tak lepas dengan dunia yang diinjaknnya, manusia adalah—meminjam istilah Heidegger—Inderweltsein, selalu-ada-dalam-dunia. Kesadaran menjadi sebentuk hal yang sangat berharga, karena makna dan arti merupakan dua terma yang mesti dicari oleh manusia sendiri. Maka, kesadaran manusia akan sesuatu selalu beserta strukturnya dalam dunia.
Van Peursen menguliti bahasan tersebut dalam akhir bab pada bukunya, Strategi Kebudayaan.[3] Menurut Van Peursen, struktur adalah unsur-unsur atau komponen yang saling berhubungan secara teratur.[4] Adalah manusia yang tak lepas dari struktur dunia yang mereka tempati. Struktur itu semacam jejaring dan kaidah-kaidah abstrak yang menggelayut
dalam pola sadar dan prilaku manusia.[5] Struktur menjadi semacam norma yang telah diinstitusikan dan dikonvensi oleh masyarakat sosial dimana kita hidup. Manusia seakan makhluk yang dilempar dalam struktur dimana dia dilahirkan. Kondisi kultural yang amat plural hakikatnya bisa dirumuskan dengan satu diksi; struktur.
Berlainan dengan Van Peursen, aliran strukturalisme[6] memberi diksi yang berbeda. Kaum strukturalis menyebut langue kepada struktur manusia yang berpolah. Langue adalah system kebahasaan murni yang merupakan abstraksi dari tindak wicara. [7] Menurut Saussure adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan masyarakat bahasa. Singkat kata, langue adalah system murni dari semua tindak wicara. Walaupun konsep langue merupakan istilah dalam linguistik, tapi konsep ini menyebar ke hampir semua disiplin ilmu. Saya sebut juga parolé bagi setiap tindak tanduk individu secara konkret.[8]
Parolé selalu tak lepas dari struktur yang mengawasinya; sebuah system yang terus berkelindan, serta manusia tidak sadar bahwa dia telah dimainkan. Permainan kehidupan yang dijalankan manusia seolah tak akan lepas dari struktur itu. Struktur itu adalahlanguenya. Roland Barthes cukup baik dalam menandaskan tentang kondisi biner ini, “tidak ada langue yang hadir tanpa parolé, tidak ada parolé yang ada diluar langue”.[9] Bahkan, menurut V. Bondel, “ langue adalah suatu entitas yang murni abstrak, suatu norma yang ada di atas individu-individu, sekumpulan tipe-tipe yang esensial, yang direalisasikan oleh parole dengan keanekaragaman yang tak terbatas.[10]
Dalam Barthes, penyingkapan struktur itu dilakukan dalam second-order semiological system (pertandaan kedua dalam system semiologis).[11] Barthes mengandaikan bahwa dalam setiap bentuk representasi ada semacam struktur yang terbenam dalam daya manusia, khususnya budaya massa yang terpengaruh oleh media. Struktur tatanan kedua ini sengaja dilesatkan oleh kaum kapitalis dalam memasarkan barangnya. Secara tak sadar massa telah tersedot oleh wujud artifisial (citra) dan struktur itu. Barthes sebut dia “mitos”.[12] Mitos pada budaya massa adalah system artifisial kapitalis yang menebarkan jejaring strukturnya pada masyarakat.
Bagi Jacques Lacan, justru kemunculan struktur memerankan peranan penting dalam proses pembentukan sang subjek. Subjek adalah bentukan struktur yang ada sebelumnya. Struktur itu mengkonstruksi diri subjek—bahkan pada tataran tingkat bawah sadar— sehingga subjek tidak bisa keluar dari struktur, tak bisa merubah dunia. Hasratnya adalah hasrat yang dibangun oleh struktur. Lacan, agak tertutup dalam membahas pembentukan subjek yang revolusioner ini.[13]
Bahkan di jaman sekarang, kebudayaan konsumeristik adalah bentuk dari representasi struktur yang membeku. Dikatakan membeku, karena keluar dari struktur itu tidak mudah—kalau tidak disebut tidak bisa— karena jaman sekarang adalah masa dimana pesta pora reproduksi ada. Daya kontrol pada sifat konsumtif merupakan sesuatu yang naif. Hal tersebut yang didengungkan oleh Jean Baudrillard dengan nada pesimistik.[14] Dunia yang hadir semenjak manusia dilahirkan adalah dunia yang tak bisa dilepaskan dari kondisi dan lanskap kebudayaannya. Parolé, atau tindak dan laku seseorang seolah tak bisa keluar dari tiang pembatas kultur. Dialah struktur (langue). Van Peursen, secara sistematis menjelaskan apa “dunia yang mungkin” dan “tidak mungkin” itu. Beliau mengupas bab tersebut dengan memetakan terlebih dahulu struktur dunia seperti yang dipaparkan di atas. Kemudian menerangkan tentang “bidang gelap” yang mengarah pada situasi stagnan dan pasifnya manusia. Baru pada “rencana untuk hari depan”,[15] Van Peursen mengambil sikap dengan tulisannya, yang bertendensi membebaskan manusia dari keterkungkungkungan struktur demi terciptanya masa depan yang lebih baik. Van Peursen berprasangkan bahwa dengan mengetahui struktur (langue) suatu masyarkat, maka nasibnya perlu juga dirubah. Syahdan, dalam struktur yang mengungkung itu—menurutnya— selalu saja ada jalan buntu untuk mengadakan kemajuan, perubahan serta pendobrakan.[16]
Perubahan ke arah lebih baik hanya menjadi angan-angan saja apabila struktur yang ditempati tak rumpal. Penjebolan, pendobrakan dan perubahan struktur menjadi sesuatu yang tabu. Salah satu keterbelengguan struktur—yang sangat baik digambarkan Karl Marx— adalah dominasi borjuasi dalam system perekonomian (produksi). Proletar adalah makhluk sekarat yang diperas oleh struktur kapitalis. Kelas pekerja tidak sadar bahwa mereka sedang dinaungi oleh struktur dimana dia bekerja. Struktur itu adalah langue bagi setiap pekerja (parole), dengan norma yang berlaku secara intrinsik; “penghisapan dan alienasi.” Bagi Marx, menafsir saja tidak cukup, pekerja harus keluar dari determinasi Kapitalis, seraya memilin jalan untuk masuk era baru, kebudayaan yang sama (classless society). Itulah dinamisasi, tanpa stagnasi kultral-struktural; revolusi. Seperti ungkapan Marx yang tersohor “Die philosophenhaben die Welt verschieden interpretiert, ess kommt darauf an, sie zu veranden” (Para filsuf tak lebih hanya sekedar menafsir dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubahnya).[17] Dalam Van Peursen, nada-nada revolusioner dihembuskan sebagai upaya perbaikan ke arah kebudayaan. Strategi kebudayaan akan menjadi nyata kalau manusia berhasil keluar dari struktur lama yang memenjara dan menyekap ke arah yang baru.
Pada wacana Marxian, struktur yang membelenggu merupakan labirin dengan sekapan kegelapan. Labirin tersebut hanya punya lorong panjang yang tidak ada ujung, tempat kaum pekerja bersemayam. Penerobosan ke lorong yang lain mustahil, kalau kesadaran hanya ilusif belaka; alienasi dan belenggu. Proses produksi kaum pekerja adalah kebaikan semu yang hanya dirasa baik kalau keterjajahannya belum disingkapkan. Semisal, sekat yang dibangun oleh kaum kapitalis berbentuk buntalan yang membungkus kaum pekerja/proletar. Pembebasan dalam posisi keterbelengguan sangat diharapkan mengingat sekat yang dibangun oleh kaum kapitalis buyar kala revolusi terjadi. Bentuk penyalahgunaan kapitalis tersebut menjadi jejaring struktur yang menyekap kepada pekerja. Penindasan terjadi pada wilayah bawah sadar dengan merasuk pada isi ubun-ubun para pekerja. Marx mengandaikan bahwa harus ada syarat objektif apabila revolusi ingin terjadi.[18]
Van Peursen berusaha menyingkap struktur dengan memetakan kondisi dan pola jejaringlangue. Setelah itu, Van Perseun mengarahkan jalan ke arah “dunia yang mungkin” itu, dialah struktur baru. Struktur yang memberikan arti positif pada subjek. Struktur baru yang memberi nilai baru pada subjek adalah “dunia yang mungkin” menurut Peursen. Penyekapan dari struktur sebelumnya adalah pengebirian ke”aku”an, sedangkan pada struktur baru ini disinyalir dapat bergulirnya kesejahteraan. Hal tersebut mirip dengan visi revolusioner Marx, perpindahan dari satu struktur ke struktur lain.
Berbeda dengan Lacan—seperti yang diungkap di muka—, Gilez Deleuz dan Felix Guattari pada Anti-Oedipus menyatakan bahwa kondisi ketertutupan itu menjadi tidak mungkin kalau saja subjek terbuka pada pembaharuan; penafsiran baru terhadap struktur. Manusia bukan hanya makhluk tertutup yang terpengaruh 100% oleh langue tempat mereka dibesarkan, sehingga terperangah. Manusia mempunyai daya untuk menafsir ulang realitas dengan struktur yang lain.[19]
Alih-alih perpindahan struktur itu terjadi, saya akan memelintir pembahasan Peursen dengan mengambil beberapa tokoh yang tak sepakat. Dan akhirnya pemelintiran yang saya lakukan adalah bentuk pertanyaan ulang terhadap struktur baru yang menjanjikan. Alih-alih struktur baru merupakan perbaikan, tapi akhirnya menjajah pula. Agaknya suatu struktur yang menggeser struktur lain akhirnya pun menjadi totaliter? Semisal tulisan Goenawan Mohammad (GM) ketika menjawab kritikan Martin Suryajaya. GM memaparkan:
“...“negara sosialis” telah melahirkan “kelas baru” tanpa modal: nomenklatura yang punya privilese – yang dipegang orang Partai. Milovan Djilas, bekas tokoh Partai Komunis Yugoslavia (yang bukunya, “The New Class”, dalam versi Inggris, di tahun 1962 saya dapat diam-diam dari seorang teman Yugoslavia yang berkunjung ke Indonesia) sudah menunjukkan itu. Beberapa dasawarsa kemudian sinyalemen yang sama dikukuhkan oleh Mao Zhdong: ia mengerahkan “massa” untuk menggempur markas besar Partai Komunis Cina – yang dianggapnya telah jadi kekuasaan musuh “massa”. Di tahun-tahun selanjutnya kita lihat perlawanan kaum buruh Polandia terhadap Partai Komunis yang berkuasa – satu konflik yang tak bisa dijelaskan sebagai perlawanan buruh terhadap kekuasaan modal...Saya tak tahu apakah Martin pernah dan mau membaca kesaksian orang-orang yang hidup di Uni Soviet dan Eropa Timur di masa Stalin atau bertemu dengan orang yang pernah mengalami alienasi dalam sistem itu. Dalam teksnya yang mengemukakan totalitarianisme ia tak menyebut Kambodia di bawah Pol Pot, di mana Marxisme-Leninisme dibawakan dalam bentuk totalitarianisme yang ekstrim dan berdarah. Atau Korea Utara, di mana Marxisme-Leninisme berevolusi dari nomenklatura tokoh Partai jadi aristokrasi keluarga.”[20]
Barangkali kaum poststrukturalis keberatan dengan alternatif yang diberikan oleh semua daya kritik, termasuk konsepsi Van Peursen dalam perencanaan kebudayaannya. Aliran poststrukturalisme selalu menyergah segala bentuk kritik yang menghasilkan kembali struktur baru, karena hakikatnya dalam struktur baru itu pun terjadi penjajahan antara “pandangan metafisika baru”, kepada kesadaran yang menjadi stuktur kesadaran baru pula. Mereka menolak dua determinasi struktur. Pertama, determinasi retrospektif, yang memandang segala bentuk struktur itu berasal dari sumber metafisik. Mereka memandang bahwa semua struktur hanya penisbatan pada “logosentrisme”. Kedua, determinasi prospektif, yaitu kepastian teleologis bagi masa depan dunia. Mereka mengenyahkannya dengan menyangka bahwa struktur yang ada hanya pemberian jaminan bagi adanyatelos.[21] Nah, pandangan kedua inilah yang kentara pada pemikiran Van Peursen. Misalnya Derrida telah menghilangkan segala bentuk kepastian dan makna (petanda), selain dia menggeser penggunaan bahasa yang keluar dari selongsong languenya. Konsep perubahan menjadi mungkin apabila tidak menegakkan kembali telos—atau salah satu bentuklogosentrisme kata Derrida— baru.[22]
[1] Digelar pada diskusi reguler LPIK, merupakan pembahasan pada bab terakhir Strategi Kebudayaan karya Van Peursen. Serta, hanya main-main! (24-02-2012)
[2] Santri LPIK. Sedang mulung élmu di jurusan Tafsir dan Hadits Semester VI UIN SGD Bandung. Pengagum berat Muhammad SAW.
[3] Judul asli: Cultuur in Stroomversnelling.
[4] Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (hal. 202)
[5] Van Peursen, Ibid. (hal. 203)
[6] Aliran strukturalisme menjadi sangat tersohor ketika Claude Lévy-Strauss bertemu dengan Roman Jakobson di Amerika. Bertemunya dua orang yang dipengaruhi oleh Ferdinand de Sussure ini mengawali jejak strukturalisme dalam kancah pemikiran.
[7] Lihat, Harimurti Kridalaksana dalam pengantar terjemahan Cours de Lingustique Generale (Ferdinand de Saussure: Pengantar Linguistik Umum, hal. 7)
[8] Konsep langue dan parole adalah dua terminologi dalam ilmu linguistik, khususnya diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure. Pada tulisan ini saya akan mengadopsi dua terma tersebut, kemudian menafsir tulisan Van Peursen dengan memakai dua terma ini.
[9] Roland Barthes, Petualangan Semiologi (hal. 18)
[10] Roland Barthes, Ibid (hal. 18)
[11] Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. (hal.303)
[12] Perlu dibedakan “mitos” dalam term pemikiran Barthes dan pemikiran Van Peursen.
[13] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika. (hal.84)
[14] Yasraf Amir Piliang, Ibid. (hal.148)
[15] Pada bab “Dunia yang Mungkin dan Tidak Mungkin”, Van Peursen menulis subnya, yaitu “Struktur dunia”, “Bidang gelap” dan “Rencana untuk hari depan.”
[16] Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (hal.209-236)
[17] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (hal.236)
[18] Walaupun revolusi a la Marx tidak pernah terjadi karena meminggirkan syarat objektif tersebut. Diantaranya, kaum subordinat benar-benar melarat oleh penindasan kaum kapital. Bukan hanya sekedar keterbelengguan, tapi “benar-benar melarat!”
[19] Yasraf Amir Piliang, Ibid. (hal.84)
[20] http://goenawanmohamad.com/esei/tanggapan-untuk-martin-suryajaya.html
[21] Yasraf Amir Piliang, Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi. (hal.41)
[22] Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida (107-132)
Posted by 12.34 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar