Sengaja ku kaburkan pandangan tajam, sengatannya buyar di terpa cerca asa hembusan Dyah Pitaloka. Bedanya, dia mati bunuh diri, sedangkan aku mati tidak berbau. Kekelaman pun sudah berani menggugat kesucianku, berwujud temaramnya polusi harapan. Ujaranku tak di toleh diriku yang kosong. Tirakatku kepada Sherlock Holmes pun hanya buatku bosan berkomat-kamit. Buihnya menyembur dari bibir ku yang kecut, pun kerut hasil jejak linting rokok.
Pulangku yang tak karuan dibubuhi siluet muka yang asam. Bus. Benar, bus lah harapan pulangku. Bus pengantar makhluk bebau keringat yang suka songong lagi jumawa itu menertibkan diri di parkiran. Aku masuk kepada garba bus sambil menegangkan diri. Lantas, penatpun sirna. Setelahnya kursi bersedia memberi parkiran atau mempersilahkan pantatku untuk menjatuhkan diri, aku masih termenung. Tak berapa lama, mataku yanglinglung dihenyakkan oleh dia. Manusia betina yang berparas anggun. Aduhainya.
Kosong pun rumpal pasca ku lihat binar matanya. Masalahnya, aku dilirik lebih dulu (singsungguh!). kekosongan pun memuai kembali, di sulut polusi harapan, menuntut “biarkan kami kembali.” Tapi ada semacam perkumpulan para advokat memberi pleydoi. Para pengacara itu adalah kharisma sang wanita itu. Egoku bertindak sebagai hakim. Tapi, matanya menyuap ego. Dengan ringan egopun bercondong padanya. Dia menang.
Aduh, aku tidak disiplin. Aku bagai Linggabuana yang tertipu oleh utusan Majapahit. Tapi biarlah, rasanya semestanya memenuhi ubun-ubunku. Kami saling pandang. Hey, kau indah sekali, mata. Tapi tak kunjung lama mata kami berpapasan, aku mulai berucap stop pada supir, bahkan belum tahu namanya.
11122010
Posted by 12.19 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar