Musik dan Jati Diri

Musik dan Jati Diri


Tepat pada hari ini, 21 Juni, menjadi hari yang cukup prestisius bagi para penggemar musik, pasalnya tanggal tersebut merupakan Hari Musik Sedunia. Fete de la Musique atau lebih akrab didengar denganWorld Music Day bermula di Perancis, kemudian menyebar ke pelosok-pelosok kota di negeri Eropa dan benua lainnya. Fete de la Musique yaitu festival musik yang selalu dimeriahkan setiap tanggal 21 Juni. Berawal dari gagasan seorang musisi Amerika, Joel Cohen, akhirnya Direktur Musik dan Tari Maurice Fleuret mengajukannya kepada menteri Kebudayaan Jack Lang pada tahun 1981. Maka pada tanggal 21 Februari 1982, World Music Day dikukuhkan.

Di kita, Hari Musik Sedunia, yang bertepatan pada hari ini sebetulnya masih kalah pamor tinimbang Hari Musik Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Maret. Hal tersebut dimungkinkan karena kemunculan World Music Day pun masih belum diakui—atau belum diketahui—oleh sebagian pihak.

Di sini, saya tidak ingin memperbincangkan latar historis yang pasti mengenai jatuhnya tanggal 21 Juni sebagai Hari Musik Sedunia. Atau, saya tidak tertarik untuk mengapresiasi segala pernik World Music Day yang terjadi semenjak tiga dekade ke belakang. Saya hanya ingin memosisikan diri sebagai penikmat yang kemudian akan dikaitkan dengan realitas musik di negeri kita.

Musik, sebagaimana yang kita tahu adalah lantunan merdu nan indah yang didengungkan atas ekspresi seni yang mendalam. Tentunya, musik bukan semata bunyi yang dimainkan oleh pemainnya, tetapi musik juga melibatkan pendengar yang senantiasa mampu menangkap makna musik tersebut. Roland Barthes pada salah satu artikelnya yang disunting oleh Stephen Heath, Musica Practica,memberikan penalaran yang baik mengenai pelantun dan pendengar musik itu sendiri. Menurut Barthes, musik akan menjadi sangat istimewa ketika pendengar tidak hanya pasif mendengarkannya dari seorang musisi, tetapi aktif menahkodai ke ranah praksis yang tidak terduga (Barthes, 1990). Dengan model musik seperti Beethoven, Barthes ingin menunjukkan bahwa musik bukan sekedar suara dan lantunan indah yang menyihir para pendengarnya, tetapi musik harus memunculkan praktik “baca-tafsir” ulang, supaya pendengar mampu menemukan makna yang baru.

Kondisi permusikan di Indonesia
Di negeri kita, musik selalu identik dengan major label; siapa yang telah rekaman, maka si musisi tersebut telah berhasil. Maka, tidak usah asing apabila sebagian musisi di negeri kita saling berebut jatah untuk masuk ke major label. Pertama, musisi tersebut akan mendapatkan nilai prestisius. Kedua, musisi akan mendapatkan profit yang cukup istimewa.

Namun di beberapa kasus, musisi hanya menjadi mainan selera pasar, karena industri musik di kita dikatakan sukses kalau memenuhi selera pasar (Rolling Stone, 2009). Pada titik ini, selera pasar akan merenggut musisi sendiri. Misalnya, seseorang yang ahli dan senang di genre musik etnik, akan banting setir ketika tahu bahwa pasaran hanya menerima genre musik pop, atau lebih detilnya, Korean pop.Hal tersebut lah yang diprediksi, atau setidaknya disanggah oleh pemikir kondang asal Jerman, Theodor Adorno. Menurut Adorno karya seni, dengan pelbagai gaya dan genre-nya, merupakan ungkapan hati dan keprihatinan si seniman dalam pergumulannya dengan konteks sejarah, bukan hasil paksaan dari pasar.

Kini, musik selalu erat berkaitan dengan media massa; baik televisi, radio dan internet. Sayangnya selera pasar yang dimaksud bukan otonom keinginan para pendengar. Seperti yang diungkap oleh David Machin dalam penelitiannya tentang industri musik, bahwa selera pasar adalah selera major lebel, karena berhasil memengarungi para penikmat musik, misalnya dengan tangga lagu populer. Contohnya, kita tidak secara serta merta suka terhadap genre musik Korean pop, kalau tidak secara terus menerus dijejali lewat media massa beserta tangga lagunya.

Bahkan nada sumbang terhadap hal tersebut pernah dilayangkan oleh Theodor Adorno. Menurut Adorno, musik ideal adalah musik otonom yang tidak dimanipulasi oleh siapapun. Adorno juga menyindir bahwa selera musik yang ada sekarang adalah selera musik yang dimanipulasi untuk kepentingan kelas borjuis demi kepentingan dirinya sendiri.

Dalam karyanya yang berbeda, Mhytologies, Barthes selalu mengungkapkan segala bentuk praktik yang massif di kalangan para penikmat media. Menurut Barthes, dengan tanpa sadar penikmat media massa hanya tertegun dan passif menuruti apa yang disuguhkan media tanpa mampu melakukan pembacaan sempurna. Senada dengan hal tersebut, dalam musik pun kita akan bisa melihat bahwa penikmat media massa hanya sebagai objek yang tunduk terhadap suguhan media. Contohnya, musik dan segala pernik style-nya secara tidak disengaja ditiru oleh kita para penikmat musik yang disuguhi oleh media. Dengan model pembacaan seperti Barthes, para penikmat musik hanya akan menjadi objek passif yang rela digusur sana-sini oleh kelas kapitalis yang mempunyai label dan media misalnya.

Mudah-mudahan di Hari Musik Sedunia yang tepat jatuh pada hari ini, kita bisa menumbuhkan kesadaran bermusik kita; baik sebagai musisi atau sebagai penikmat. Namun hal tersebut seakan menjadi mustahil ketika kita tahu bahwa media massa selalu berperan dalam industri musik di kita ini, walaupun kita tahu bahwa ada sedikit peluang untuk bisa keluar dari kungkungan musik dominan, yaitu dengan memaknainya secara lebih mendalam. Barangkali, penafsiran ulang (baik musisi atau penikmat musik) terhadap musik akan menumbuhkan jati diri yang tidak selalu didikte oleh selera pasar.


Oleh: Ihsan Fauzal Firdaus* 

*) Penikmat musik.



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 23.51 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar